The Reason to Contribute a Volunteer

“Kita tidak dilahirkan untuk saling membenci, kita dilahirkan untuk saling mengasihi.”
Totto-chan’s Children
Kalau ditanya, “buku apa yang menginspirasi mu?” Selain buku Laskar Pelangi dan Negeri 5 Menara, aku akan menjawab, “Tottochan’s Children: A Goodwill Journey to the Children of the World.”
Buku yang tahun lalu sempat aku review di akun Instagramku. Buku itu bercerita tentang pengalaman si penulis menjadi seorang volunteer di berbagai negara (yang aku ingat India dan Afrika). Di negara-negara yang mengalami kekeringan hebat atau terkena dampak perang. Ternyata masih banyak anak-anak yang tidak bisa makan bahkan untuk minum pun susah. Anak-anak juga tidak bisa bersekolah, tidak bisa dirawat ketika sakit, bahkan mengalami trauma pasca perang.
Terlahir di keluarga yang supportive dan hangat bikin aku sempat menjadi “buta”. Ternyata dunia yang aku pijak saat ini tidak selalu hangat dan ramah. Terlebih untuk anak-anak. Apalagi, tiap kali scroll Twitter, ada saja kasus kekerasan seksual, bullying, dll, yang mana korbannya adalah anak-anak. Banyak dari mereka memiliki trauma yang didapat dari keluarga, orang tua, teman sebaya bahkan di lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi “rumah” paling ramah.
So, maybe the reason for me wanting to contribute as a volunteer. Padahal, selama kuliah empat tahun aku selalu terlibat dalam kegiatan virtual saja (internship, volunteer). Yeah, this is for the first time aku keluar dari zona nyaman untuk ikut volunteering offline. Niat untuk ikut serta dalam kegiatan volunteer itu sudah sejak tahun lalu. Sejak aku selesai membaca buku itu. Mungkin selama ini aku tidak sadar, bahwa aku bisa memberi tanpa menunggu nanti. Bisa dimulai dari yang dekat dulu, tanpa harus menunggu jadi relawan UNICEF. Mungkin aku hanya perlu sedikit melonggarkan rasa kepemilikan: atas waktu, tenaga, dan materi yang sejatinya tidak pernah benar-benar aku miliki.
Menurutku, aku punya kesempatan, aku punya kesadaran, dan at least satu hal kecil ini semoga bisa berdampak baik dan semoga juga bisa memberikan pengalaman menyenangkan bagi anak-anak.
Bisa dimulai dari yang dekat dulu, tanpa harus menunggu jadi relawan UNICEF. Mungkin aku hanya perlu sedikit melonggarkan rasa kepemilikan: atas waktu, tenaga, dan materi yang sejatinya tidak pernah benar-benar aku miliki.
Della Syafitri
Kesan Pertama Pada Episode 1
Sebelum program Sambang Sekolah dimulai, kegiatannya ada pengenalan seputar apa itu komunitas Compok Literasi juga berkenalan dengan para relawan Sambang Sekolah. Pada awalnya sempat gugup karena akan bertemu dengan orang-orang baru yang pengalamannya jauh lebih keren daripada aku. Sempat merasa tidak percaya diri juga. Seperti, am i deserve it? Bisa tidak ya aku berbaur dengan orang-orang di sini? Tetapi ternyata mereka semua welcome sekali.
First impression di episode pertama, aku merasa seperti a little things ini bisa membuatku senang. My heart is full. Aku terpilih sebagai relawan dokumentasi. Meski tidak terlibat langsung dalam kegiatan, namun dari foto dan video yang aku ambil juga interaksi kecilku dengan anak-anak, membuat hatiku terasa penuh. Awalnya aku mengira tujuan dari kegiatan ini membuat mereka yang senang. Ternyata sebaliknya, aku yang dibuat senang oleh mereka. Definisi healing yang sesungguhnya, super duper recharge my energy. Walaupun lelah tetapi secara keseluruhan aku senang.
Setiap kegiatan Sambang Sekolah, komunitas Compok Literasi juga memfasilitasi buku bacaan yang bisa adik-adik bawa pulang untuk dibaca. Kami juga menyediakan formulir untuk mereka isi dengan ulasan pendek dari buku yang sudah dibaca. Inilah momen yang membuatku senang sekali yaitu saat meliat wajah sumringah mereka ketika memilih buku-buku yang bakal mereka bawa pulang. Saking bersemangatnya, mereka sampai rebutan. Menurutku sebenarnya masih banyak loh orang yang berminat membaca. Hanya saja kekurangan fasilitas atau lebih tepatnya tidak ada usaha dari pemerintah setempat untuk memfasilitasi buku bacaan.

Aku jadi teringat sempat ada kericuhan di Twitter soal anak booktwit yang diisukan hanya hobi flexing buku dan bersaing siapa yang paling banyak baca buku. Aku sendiri kontra sekali sama hal ini. Seharusnya hadirnya orang-orang yang passionate dengan buku ini secara tidak langsung jadi kampanye untuk meningkatkan minat baca. Bahkan, sekarang banyak sekali teman-teman booktwit dan bookstagram yang mengadakan lapak baca gratis di kota masingmasing. Setiap minggunya banyak sekali masyarakat mulai dari anak-anak sampai orang dewasa yang turut meramaikan lapak baca itu.
Stigma masyarakat Indonesia yang katanya punya minat literasi rendah itu tidak benar. Menurutku kita hanya kekurangan fasilitas buku bacaan saja. Mungkin seharusnya minat baca masyarakat bisa dipancing, salah satunya dengan hadirnya akun booktwit/ bookstagram juga komunitas literasi yang memberi contoh. Mungkin tidak harus dalam skema kampanye. Sekadar posting review buku di media sosial saja bisa membuat orang jadi tertarik. Atau ya seperti Sambang Sekolah yang memfasilitasi buku-buku untuk dibawa pulang.
Di episode perdana ini aku bertemu dengan seorang anak perempuan yang manis sekali. Namanya Khodma. Di kelas, dia cenderung pendiam. But, out of nowhere, Khodma tiba-tiba menyodorkan selembar kertas kepadaku. “Buat kakak,” katanya. Ternyata dia menggambarku. Gambar yang membuatku tersenyum dan salah tingkah. Meski aku tidak berinteraksi secara langsung dengannya ternyata kehadiranku cukup terlihat olehnya.
Kenangan Episode 2, 3 & 4

Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia, pada episode dua Sambang Sekolah bertema tentang pahlawan Indonesia. Tujuannya adalah memperkenalkan pahlawan-pahlawan Indonesia. Kegiatan dimulai dengan peragaan topeng bergambar wajah pahlawan yang dikenakan oleh para relawan. Disusul dengan lomba puzzle pahlawan. Anak-anak dibagi berkelompok untuk menyusun puzzle wajah pahlawan. Kelompok yang lebih dulu selesai dan tepat menebak nama pahlawan akan jadi pemenangnya. Selain itu ada kegiatan menonton bersama film animasi tentang kemerdekaan.
Tema episode kali ini seputar “kata ajaib” (tolong, terima kasih, maaf). Berbicara soal magic words ini, apa sih yang membuat kebanyakan orang melupakan basic manner ini? Lupa atau seperti enggan mengucapkan tolong, terima kasih dan maaf? Bahkan sedari kecil, orang tua sudah mengajarkan hal ini, tapi tetap saja terkadang kita lupa atau merasa masa bodoh dengan hal ini. Sebenarnya seberapa penting sih kata ajaib ini? Penting sekali. Apalagi ketika kita ingin meminta bantuan, membuat perintah dan hal-hal lain dengan sesama manusia. Mungkin bagi beberapa orang menganggap ini hal yang basa-basi, tetapi sebenarnya ini merupakan tindakan untuk menurunkan ego kita sebagai manusia dan memberikan apresiasi kepada orang lain.
Tujuan dari tema kali ini adalah memperkenalkan dan membiasakan anak-anak mengucapkan kata ajaib ini. Seperti biasa melalui permainan edukatif dan menonton short movie tentang kata ajaib. Teman-teman relawan juga menerapkan learning by doing, misalnya ketika ada salah satu anak yang usil ke temannya. Teman-teman relawan menegur anak yang usil itu untuk meminta maaf kepada temannya. Kebiasaan ini harus selalu ditanamkan di lingkungan keluarga atau pun di sekolah. Untuk menjadi pribadi yang lebih baik, tentu dimulai dengan melakukan hal-hal kecil. Dan penerapan kata ajaib ini salah satunya.
Masalah yang sering kali luput bahkan sering diabaikan adalah menemukan minat dan bakat. Entah dari orang tua atau dari sekolah yang kurang mengembangkan minat dan bakat anak. Hal ini bisa membuat anak-anak bingung saat memasuki dunia kuliah. Mereka tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang minat dan potensi mereka. Ini juga yang menjadi faktor kenapa banyak mahasiswa yang masih merasa salah jurusan.
Sebenarnya, banyak kok sekolah-sekolah yang memfasilitasi siswanya untuk menemukan passion mereka, tetapi sedikit juga sekolah yang belum bisa memfasilitasi itu. Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Bisa karena masalah finansial, atau kurangnya tenaga pendidik yang punya keahlian khusus. Atau bisa jadi, orang dewasa kurang peka terhadap kemampuan anak-anak. Kenapa bisa begitu?
Semisal ada anak yang hobi memanjat pohon atau suka menendang sana-sini. Orang dewasa pada umumnya akan memarahi si anak tersebut, kan? Padahal kalau kita bisa sedikit peka, bisa saja anak ini punya potensi menjadi atlet. Melihat potensi itu, sebagai orang tua kita bisa mendaftarkan anak tersebut ke sanggar olahraga. Basically, semua anak itu berbakat. Terkadang masalah orang tua ini adalah kurangnya pengetahuan bagaimana menemukan bakat dalam diri anak.
Untuk itu, di episode kali ini, teman-teman relawan berupaya mengenalkan beragam bakat melalui permainan Tebak Bakat. Sebuah game interaktif yang memungkinkan mereka mengeksplorasi berbagai bakat. Di akhir kegiatan, mereka bebas memilih hal yang mereka suka seperti menggambar, berpuisi, menari, dll. Kami percaya bahwa dengan mengemas pembelajaran melalui permainan, mereka akan lebih mudah menemukan potensi diri mereka dan memahami apa yang benar-benar mereka sukai.
Sekilas tentang penulis
@.deesareads
Della Safitri, lahir dan besar di Samarinda kemudian menetap di Pamekasan Madura sejak kelas 6 SD. Penikmat buku-buku berbagai genre yang kadang kala ia bagi di akun instagramnya