Perempuan, Sejarah, dan Semua yang Jarang Dibicarakan

Aku juga ingin menanyakan pendapatnya mengenai potensi pengembangan ruang belajar di situs sejarah raja pertama sekaligus pendiri Pamekasan itu.
‘Ya gapapa, itu istimewanya perempuan,’ kata Bima saat aku mengeluhkan nyeri haid yang menghambat aktivitasku.
Aku masih ingat jelas percakapan itu, tiga tahun dua bulan lalu. Hari itu, nyeri haid memaksaku berdiam di kamar seharian. Menggagalkan semua agenda dan merusak suasana hatiku.
Bima mendengarkan keluhanku tanpa meremehkan. Menurutnya, itu respons tubuh yang wajar. Bahkan laki-laki sepertinya tak akan sekuat perempuan jika mengalami hal serupa.
‘Jadi, top sekali perempuan itu!’ katanya.
Aku menghembuskan napas panjang, mencoba melawan nyeri haid—dismenore—yang mencengkeram perut bagian bawah. Kilas ingatan itu menyentakku untuk bangkit dari kasur.
Sore itu, Selasa, 14 Januari 2025, kami berencana napak tilas ke Kompleks Pemakaman Raja Pertama Pamekasan, Ronggosukowati. Hujan baru saja reda saat aku bergegas menuju titik kumpul di Masjid An-Nuur. Setibanya di sana, aku mendapati motor teman-temanku sudah terparkir rapi. Aku terlambat dan harus berjalan kaki sendirian sejauh 250 meter menuju gerbang utama makam.
Trotoar yang seharusnya nyaman dilalui justru penuh pedagang yang mengalihfungsikannya menjadi lapak. Aku terpaksa berjalan naik turun trotoar-aspal untuk menghindari perlengkapan dan barang dagangan yang menghalangi jalan.
Bayangkan saja, penghalang itu awalnya hanya sebuah bangku besi. Lima belas meter ke depan, tiba-tiba muncul lincak lengkap dengan meja panjang dan kursi—mirip warung makan kecil. Belum sempat berpikir, tumpukan bata ringan menjulang dua kali tinggi orang dewasa, memblokade jalanku sepenuhnya.
Kuhembuskan napas keras-keras. Menyerah, aku memilih berjalan di aspal saja. Tapi gangguan belum usai. Kali ini dari pegawai toko bangunan.
‘Mau kemana, Mbak? Sendirian aja?’ celetuk salah satu dari mereka.
Lontarannya terasa menyusup, diiringi tawa kasar yang penuh nada merendahkan. Beberapa bahkan menambah dengan siulan kecil yang semakin membuatku merasa tak nyaman. Tatapan mereka tajam dan tidak sopan, seolah menilai setiap langkahku.
Tanpa menoleh, aku terus berjalan, semakin yakin betapa ruang publik masih belum sepenuhnya aman bagi perempuan.
Belum habis rasa kesalku, di depan pasar aku terpaksa menyeberang jalan karena genangan air cukup besar menghalangi jalanku. Revitalisasi pasar yang baru rampung pertengahan 2024 tampaknya tidak menyertakan drainase yang layak.
Aku mempercepat langkah, menahan kesal yang kian memuncak. Pesan Bima kembali terngiang: ‘Jadi, top sekali perempuan itu!’ Kejadian-kejadian tadi membuatku semakin mengamini ucapannya.
Akhirnya, aku tiba di kompleks pemakaman. Gerbang utamanya membentang sekitar enam meter dengan desain sederhana. Di kedua sisinya, berdiri gapura bata merah setinggi kira-kira dua setengah meter, ujungnya mengerucut menyerupai atap Rumah Adat Tanèyan Lanjhâng. Keempat sisi gapura terdapat motif ukir khas Madura yang terkesan dibuat seadanya.
Juga terdapat pos jaga yang dinaungi pohon kersen menghadap ke gapura utama. Di sampingnya, berdiri papan berlatar hitam berukuran 1,5×2 meter dengan tulisan warna emas: ‘Makam Raja Pamekasan Ronggosukowati Kabupaten Pamekasan’. Pintu masuk makam berada di kanan kiri pos jaga dan papan nama.
Papan nama yang terpasang cukup kecil, hampir mustahil terbaca dari luar gapura. Menurutku, lokasi ini lebih mirip Tempat Pemakaman Umum (TPU) biasa daripada area peristirahatan terakhir seorang raja.
Padahal lokasinya sangat strategis dan berpotensi menjadi ruang belajar sejarah yang menarik jika dikelola dengan baik. Pengunjung bisa mengenal sejarah sambil menikmati kuliner khas dan berburu cendera mata di Pasar Kolpajung yang berada tepat di seberangnya. Aksesnya pun sangat mudah karena angkot melintasi area ini.
Meski nama Disporabud (Dinas Pemuda, Olahraga, dan Kebudayaan) turut eksis di pojok papan nama, aku belum bisa memastikan sejauh mana pemerintah terlibat dalam pengelolaan situs ini. Sore itu aku tak bertemu juru kunci untuk memastikan informasi lebih lanjut.
Kesalahanku adalah tidak melakukan riset lebih dulu sebelum berangkat. Tapi tak apa, anggap saja tantangan. Dengan pengetahuan yang terbatas, aku ingin melihat sejarah apa yang dapat kupelajari kali ini.
Menyedihkan memang, aku tak ingat pernah belajar sejarah Pamekasan di sekolah. Aku pun tak cukup tertarik untuk mencari tahu dan mempelajarinya sendiri kala itu. Seingatku, hanya kisah Kutai Martapura, Majapahit, hingga Samudra Pasai yang diajarkan guruku di kelas.
Kini, aku melangkah masuk lewat pintu sebelah timur, mencoba menemukan jawabanku sendiri. Semerbak harum bunga kamboja langsung menyapa indra penciumanku. Pohon-pohon kamboja tersebar di segala penjuru, sementara beberapa pohon besar berdiri kokoh, menaungi makam-makam di bawahnya.
Aku mengedarkan pandangan. Rumput liar tumbuh di sana-sini, bunga-bunga berserakan, dan angin sesekali berhembus. Bahkan beberapa ayam terlihat wira-wiri mencari makan.
‘Jangan-jangan mereka keturunan ayam darah biru peliharaan raja,’ imajinasiku ngawur. Cekikikan dalam hati.
Untungnya, nyeri yang kembali hadir mengalihkan pikiran liarku. Aku jadi teringat pendapat yang melarang perempuan haid untuk berziarah, meski ada juga yang memperbolehkan. Bagiku, selama niatnya baik, tak perlu ambil pusing perbedaan itu.
Aku melanjutkan observasi. Kompleks pemakaman ini cukup luas, mungkin sekitar satu hektar, membentang dari selatan ke utara. Tata letak makam dibuat berpetak dengan tembok pembatas. Beberapa makam terlihat mencolok dengan cungkup sebagai pelindung.
‘Sepertinya, ini adalah makam keluarga inti kerajaan,’ batinku.
Untuk mencapai kompleks utama makam, terdapat gapura bercat putih bersih yang menjulang sekitar empat meter. Gaya arsitekturnya tampak kuno, meski aku tak bisa memastikan coraknya. Melewati gapura ini, alas kaki harus dilepas. Lorong bercungkup dengan lantai keramik bersih membentang menuju petilasan sang raja.
Di kanan dan kiri lorong, puluhan makam berjejer. Dua di antaranya memiliki cungkup dengan arsitektur khas Majapahit. Bagian nisannya tertutup kain kuning. Nisan di sebelah barat lorong masih utuh, sementara yang di timur telah runtuh sebagian.
Aku menerka ini makam keluarga inti yang lain. Tapi, kenapa coraknya berbeda? Makam bercungkup yang kulihat sebelumnya tampak lebih sederhana—berlapis keramik tanpa kain penutup nisan. Pikiran itu terus berputar hingga langkahku mencapai area persemayaman raja dan ratu.
Area ini terasa lebih sakral. Makam yang ada lebih sedikit, teduh di bawah rimbun pohon mimba di sudut barat. Temanku bilang, pohon itu sudah sangat tua.

Makam Ronggosukowati terletak di tengah area, dilindungi cungkup lebar dengan atap susun dua yang dilengkapi mustaka di pucuknya. Atap cungkup sengaja dibuat lebih rendah, memaksa para peziarah merunduk saat melintas—mungkin sebagai bentuk penghormatan.
Di sisi utara cungkup, terdapat ukiran kayu yang berkamuflase sebagai pembatas. Aku tak tahu pasti apa yang digambarkan. Namun yang terlihat jelas menampilkan motif tumbuhan, daun, bunga, dan naga. Cungkup ini didominasi warna putih dan emas, dengan sedikit sentuhan merah dan hijau pada ornamen ukirannya.
Tepat di sebelah barat makam raja, terdapat makam Ratu Inten yang terlihat cukup ringkih. Beberapa bagian makam sudah tak utuh, tampak terkikis oleh hujan. Berbeda dengan makam raja, makam ratu tak dilindungi cungkup.
Konon, pembangunan cungkup makam ratu telah diusahakan beberapa kali. Namun, setiap kali cungkup berhasil didirikan, keesokan harinya cungkup itu mendadak hilang, dan gentengnya kembali tersusun rapi di sisi makam. Sejak saat itu, upaya untuk memberikan cungkup dihentikan.
Tak banyak yang kuketahui mengenai Ratu Inten semasa hidupnya. Namun dari kisah ini, aku melihat isyarat kesederhanaan di atas status ratu. Mungkin juga, ratu memaknai kematian sebagai bagian dari kembali ke alam, sehingga tak ada yang perlu diistimewakan.
Nisan Ratu Inten dan Raja Ronggosukowati ditutupi kain kuning. Sama seperti dua makam di kompleks sebelumnya. Dari sini, aku mulai menemukan benang merah. Mungkin kedua makam tadi adalah makam anak mereka, Pangeran Zimat dan Raden Ayu Pacar.
Lalu, makam bercungkup tanpa kain penutup nisan di area luar adalah makam Pangeran Poerboyo, anak raja dari selir, Nyai Parombasan. Itu terlihat dari nama yang tertulis di tembok cungkup.
‘Jika makam raja, ratu, dan anak-anak mereka kutemukan di kompleks pemakaman ini, lalu di mana makam selir?’ pertanyaan ini mengusikku hingga sampai rumah.
Rasa penasaran mendorongku untuk meramban lebih jauh di internet. Tapi hanya sedikit informasi yang kutemukan. Misalnya, makam yang awalnya kukira adalah makam Raden Ayu Pacar—anak perempuan raja—ternyata belum dapat dipastikan kebenarannya. Beberapa sumber yang kutemui tak membahasnya sama sekali. Aku melewatkan banyak hal selama napak tilas sore itu. Termasuk keberadaan makam selir dan sejarah di baliknya
‘Ah, PR-ku untuk belajar sejarah masih panjang,’ gumamku dalam hati.
Ingin rasanya membagikan cerita ini pada Bima. Memamerkan usahaku melawan dismenore dan tetap menjalani aktivitas seperti biasa. Aku juga ingin menanyakan pendapatnya mengenai potensi pengembangan ruang belajar di situs sejarah raja pertama sekaligus pendiri Pamekasan itu.
Kupastikan di lain kesempatan, aku datang dengan persiapan lebih matang. Kurasa Bima akan mencibir jika tahu aku belajar sejarah hanya berbekal insting dan ilmu tebak-menebak. Ya, meskipun kami jarang bertemu, semoga teman lamaku yang kini menjadi jurnalis Tempo itu bisa berkunjung kemari. Barangkali liburan sekalian meliput sejarah Pamekasan.
Ingatan kututup. Dan pada kasur, kembali kurebahkan segalanya.