Cerita Panjang Compok Literasi & Sambang Sekolah

Cerita Panjang Compok Literasi & Sambang Sekolah

Buku dan yang Saya Alami

Pengalaman pertama berkenalan dengan buku adalah ketika ibu menyodorkan buku yang memperlihatkan jenis-jenis profesi; gambar guru, pilot, petani dan lainnya. Ibu meminta saya memilih salah satu gambar sebagai cita-cita saya di masa depan. Meskipun panjang lebar, ibu menjelaskan mengenai cita-cita, saya benar-benar belum memahami apa itu cita-cita. Saya suka gambar seorang yang menaiki pesawat, pesawat itu sungguh keren. Lalu ibu mengatakan “Itu adalah seorang pilot.” Saya belum sekolah dan itu kira-kira berusia 6 tahun, lalu hampir setiap malam, ibu mengajak saya bermain bersama isi buku tersebut. 

Menginjakkan kaki di bangku Sekolah Dasar, saya mempunyai seorang teman yang gemar membawa buku. Dia terlihat selalu asyik dengan buku-bukunya. Di antara kami, dia merupakan anak yang cukup mampu secara finansial. Buku-buku yang dibawa selalu menarik perhatian. “Bu, di sekolah, ada teman yang suka bawa buku.” Ibu masih menyimak dengan seksama, “Saya ingin bisa baca seperti dia, tapi saya tidak bisa, bahkan tidak punya buku.” dan Ibu hanya tersenyum mendengar keluh kesahku yang berusia 7 tahun.

Suatu waktu Ibu pernah setengah heran. Sepulang dari kegiatan Festival 17 Agustusan di kecamatan, saya membawa sebuah buku berjudul “Siksa Neraka”. Saya memilih buku tersebut alasannya cukup brilliant saat itu: itu adalah buku yang paling murah di antara buku-buku lainnya. Ibu heran, pertama karena saya belum bisa membaca dan berikutnya, uang saku saya dihabiskan untuk buku yang belum bisa saya dibaca. Tapi yang terpenting, saya suka dan dengan bangga memamerkan buku itu ke teman-teman di sekolah.

Kisah buku ini terus berlanjut ketika kakek saya menjadi pengepul rongsokan. Banyak sekali rongsokan di sekitar rumah, mulai dari besi, plastik, bahkan kertas-kertas. Saya dan kakak perempuan saya, Jamila, riang gembira ketika ada penimbang rongsokan kertas apalagi buku-buku. Karena tempat itulah akhirnya menjadi sudut paling kami sukai. Ingat betul ketika kami suka menyobek bagian akhir majalah seperti Mimbar, Anita, Gadis dan termasuk Horison. Sebab pada bagian tersebut terdapat rubrik cerpen, puisi dan humor. Kami mengumpulkan sobekan-sobekan itu, menjadi sebuah kliping yang tebalnya hampir menyerupai sebuah buku.

Rumah kami berdekatan dengan sekolah. Buku-buku gratis dari rongsokan kakek itu, kemudian kami jadikan pojok baca kecil di depan rumah, tempat yang strategis bagi para siswa-siswi. Sehingga bukan hanya kami yang bisa menikmati buku-buku rongsokan yang kami kumpulkan, tapi beberapa anak lainnya menjadi sering nongkrong, sambil ikut membaca di pojok baca kami.

Saat ini, saya cukup jenuh mendengar survei-survei yang menggaungkan betapa rendahnya minat baca bangsa kita. Padahal baiknya, sebelum membahas itu, kita tengok bagaimana di pelosok negeri ini begitu susahnya mengakses buku bacaan yang berkualitas, belum lagi harganya begitu mahal. Saya bahkan merasakan penderitaan itu sejak kecil, baru bisa menikmati buku yang berasal dari rongsokan, yang bagi orang lain itu adalah sampah yang seharusnya dibuang. Maka, membangun Compok Literasi bagi kami adalah bentuk ‘balas dendam’ pada masa lalu atau lebih tepatnya ‘protes’ pada masa kini, bahwa minat baca sejatinya bisa ditumbuhkan dengan ketersediaan buku yang bagus nan berkualitas.

Hal lain yang melatarbelakangi membangun Compok Literasi adalah mimpi! Bahwa seusai kuliah, kami harus pulang ke kampung halaman dan membangun tanah tempat kami lahir. Terdengar naif memang, tetapi kemudian di tahun 2017, semesta mendukung mimpi anak kampung ini. Saya yang berkuliah di Ibukota kemudian mendengar, bahwa negara menggratiskan biaya ongkos kirim buku ke seluruh penjuru Indonesia. Maka bermodal jejaring pegiat literasi yang kami miliki, kami mulai mengumpulkan buku demi buku, bulan demi bulan, untuk dikirim ke desa kami. Banyak sekali yang membantu kegiatan baik ini, terutama Ibu yang membantu mengoprasikan rumah baca tersebut saat kami masih di luar kota, serta kak Jamila yang juga sering mengerakkan donator buku dari kota Malang. Dan satu tahun sekali kami membuat kegiatan besama teman-teman rumah baca, ketika berkesempatan pulang kampung.

Compok Adalah Rumah

Mimpi itu perlahan menggeliat, dengan gerakan rumah baca di kampung halaman, yang kami namakan Compok Literasi. Compok dalam bahasa Madura artinya rumah, dan Literasi adalah kata untuk menggambarkan bentuk gerakan kami. Sehingga dengan lugas jika orang bertanya kapan Compok Literasi lahir, kami menjawab “tahun 2017!” meskipun kami lupa tanggal dan bulannya berapa. Lalu kami setengah iseng menyepakati 10 November lah mungkin tanggal yang bagus sebagai hari lahir kami. Jika harus meminjam kata William Shakeshpear: Apalah arti sebuah tanggal (Baca: Apalah arti sebuah nama)

Tahun 2019 program pengiriman buku tersendat, bahkan dihentikan. Bertepatan dengan itu pula, masa kuliah saya juga telah usai dan kak Jamila juga lulus dari pascasarjannya. Maka kami akhirnya sama-sama memutuskan untuk kembali ke desa. Tahun 2020, sebulan setelah kami beraktivitas di desa, wabah COVID-19 menyebar keseluruh penjuru bahkan ke pelosok desa kami. Pandemi ini kemudian mengharuskan adanya pembatasan aktivitas, pembatasan interaksi dan pembatasan mobilitas, termasuk sekolah dan juga aktivitas Compok Literasi. Kami hanya bisa berharap, dunia kembali baik-baik saja.

Ternyata tidak! Setengah tahun, ekonomi dunia mulai runtuh, bantuan harus dikerahkan untuk keberlangsungan hidup manusia, dan rumah baca kami pun lumpuh!

Pada suatu malam saya mengajak mbak Jamila bertukar pikir dan melakukan refleksi akan nasib Compok Literasi di masa-masa sulit ini. “Apakah gerakan ini benar-benar seperti yang kita harapkan dulu?”,“Bagaimana jika pandemi ini tidak berujung?” atau “Apa yang akan Compok Literasi lakukan? percakapan cukup seru dan saling lempar gagasan hingga larut malam.

Akhirnya kami menyepakati mengubah visi dari Compok Literasi. Yang awalnya hanya sebuah gerakan yang berhubungan dengan buku, berubah: kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Dan menghasilkan sebuah visi yang “Menjadi rumah  bagi pembelajar untuk saling berkolaborasi, bertukar pengetahuan dan menjadi solusi bagi masalah-masalah pendidikan dan sosial”.

Maka sejak itulah harapan kembali ranum. Selain dengan buku-buku, arah & karakter gerakan kami baru, target komunitas menjadi jelas; berupa pemberdayaan Relawan, rencana sinergitas dengan sekolah-sekolah dan kolaborasi bersama stakeholder serta masyarakat. Dimana akhirnya Compok Literasi memiliki rencana yang terstruktur, terukur, dan suistainable.

Sejak saat itu lah kami putuskan Compok Literasi menjadi sebuah rumah bagi anak muda untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman, menciptakan kemungkinan bertemunya solusi untuk berbagai masalah pendidikan dan sosial.

Keterangan foto : Seperti sebuah prasasti. Terkenang sebuah kertas yang digunakan untuk brainstroming terkait ide baru arah gerakan Compok Literasi.

Di tahun berikutnya, Pandemi COVID-19 mulai mereda. Hal itu memompa semangat baru kami, dan kami awali dengan kegiatan besar bernama Konfrensi Literasi. Kami mengumpulkan pegiat pendidikan dan sosial di Kabupaten Pamekasan. Tujuannya untuk mengenalkan komunitas kami kepada calon kolaborator kami, di kegiatan ini kami juga membahas nasib literasi di Pamekasan, di tengah euforia Pamekasan ‘ingin’ menjadi Kabupaten Literasi.

Lalu pasca program itu selesai, kami mejalankan beberapa program lainnya. Keterbatasan Sumber Daya mulai kami rasakan, kami memutuskan untuk membuat sebuah program yang bisa menjadi medium menyiapkan regenerasi Relawan yang akan menjadi penyokong utama gerakan kami. Yang kami beri nama “Sambang Sekolah” .

Sambang Sekolah

Sambang Sekolah mirip dengan program Indonesia Mengajar, namun dalam lingkup yang lebih kecil. Kami menyadari betapa kami membutuhkan banyak tangan untuk mencapai harapan besar ini. Sedangkan kami adalah pendatang baru, kampung halaman kami telah bertahun-tahun kami tinggalkan, kami menjadi asing dan hanya segelintir orang yang kami kenal untuk diajak bersama-sama mewujudkan upaya-upaya baik kedepannya. Kami memilih sebuah program yang akan mampu mengumpulkan orang-orang yang satu visi dengan kami setiap tahunnya. Dan Sambang Sekolah lah yang menampung itu.

Memperkenalkan program ini kepada beberapa orang-orang asing yang kami jumpai di beberapa warung kopi, adalah upaya-upaya lanjutan yang menarik untuk diceritakan. Kami menjelaskan tujuan program ini, selain untuk mewadahi anak muda yang ingin berkontribusi untuk dunia pendidikan, juga untuk menjadi rekan kolaborator bagi guru dalam menyelesaikan permasalahan yang dialami dalam proses pembelajaran.

Beberapa anak muda yang kami temui dan berhasil kami kumpulkan merespon dengan  beragam. Ada yang antusias, ragu-ragu bahkan tak percaya diri. “Kita tak punya pengalaman mengajar, kemudian ujug-ujug hendak menyelesaikan masalah yang dialami guru dan siswa di sekolah,” kurang lebih seperti itu yang kami dengar.

Semampu kami meyakinkan. Kami menjelaskan mulai dari bentuk dan proses kegiatannya; tidak mengajarkan pelajaran-pelajaran yang ada di kurikulum sekolah tapi dimulai dengan memetakan masalah-masalah yang dialami siswa. Dari hal tersebut, kemudian dirumuskan serangkaian materi ajar yang dapat menjadi solusi pada masalah sekolah yang kami sambangi.

Bagi kami, solusi adalah hal yang paling menarik ketika hendak melakukan Sambang Sekolah. Mengingat betapa rumitnya persoalan-persoalan sekolah. Sehingga pendekatan yang kami pilih haruslah tepat. Bagaimana mewujudkan belajar secara menyenangkan, bagaimana individu ataupun kelompok tidak hanya terlibat tetapi antusias dalam program ini. Bagaimana setiap kegiatan harus menggunakan media yang mudah, murah dan dekat dengan siswa.

Semisal jika disekolah yang kami kunjungi memiliki masalah pada sampah, maka materi kita bagaimana caranya untuk membuat tempat sampah dari benda sekitar dan mulai membangun budaya buang sampah pada tempatnya. Metodenya pun bukan dengan ceramah, akan tetapi harus didominasi dengan pelibatan siswa pada suatu aktivitas. Sehingga dari aktivitas tersebut siswa mengalami sebuah pengalaman dan peristiwa tertentu. Dari hal tersebut, kemudian menjadi bahan diskusi serta refleksi bersama.

Akhirnya kami berhasil meyakinkan beberapa anak muda kala itu, sekolah pertama yang kami sambangi adalah SMP Al-Ibrohimy. Kami berkegiatan di sekolah tersebut selama 3 bulan, dengan total 6 kali pertemuan.  Durasi tersebut kami pilih agar program berjalan lebih intensif serta bisa mengukur capaian-capain dari aktivitas yang dilakukan disetiap pertemuannya. Alasan lainnya agar bisa lebih mengenal sekolah serta siswa. Beruntungnya pada program perdana ini berjalan dengan baik serta penuh kesan.

Keberhasilan program Sambang Sekolah pertama memberikan rasa percaya diri. Menjadi modal untuk memberanikan diri membuat Sambang Sekolah kedua untuk jenjang yang berbeda yakni Sekolah Dasar, MI Nurul Faizin. Lokasinya cukup terpencil dan medannya lebih menantang. Dengan durasi yang sama, akan tetapi dengan masalah yang rasanya lebih pelik. Mulai dari motivasi belajar dan kedisiplinan yang rendah, belum lagi minat baca siswa, bahkan dibeberapa kelas ada siswa yang belum bisa membaca.

Namun pada prosenya, dengan pendekatan ala Compok Literasi; membuat aktivitas berupa permainan yang hanya bisa diselesaikan dengan membaca. Serta pembiasaan lainnya, seperti  membawa pulang buku disetiap akhir pertemuan. Suatu ketika seorang relawan pernah dihampiri oleh seorang siswa dan berkata,“Kak, aku tidak bisa membaca tapi aku ingin sekali membaca buku. Kira-kira buku apa yang cocok untuk saya ?”. Sedikit tertegun mendengar petanyaan itu, untungnya ada sebuah buku khusus belajar membaca, dengan tanggap  memberikannya kepada anak tersebut dan mememinta agar orang rumah mendampinginya.

Dari momen tersebut, seperti menjadi titik balik bagi saya. Teringat masa kecil yang saya alami. Ternyata tidak hanya saya yang memiliki nasib seperti itu. Barangkali masih ada ratusan, bahkan ribuan juta anak-anak yang akan memiliki minat baca, ketika kita mampu mempertemukan buku-buku yang tepat kepada anak-anak tersebut.

Menjelang Sambang Sekolah usai. Anak tersebut kembali menghampiri kami, dengan mimik wajah antusias, berkata ”Kak, tahu tidak? Aku sekarang sudah bisa membaca!”. Dan itu membuat hati kami serasa bergetar sekaligus terharu, memeluknya dan mencoba menawarkan kepadanya untuk  menjadi pembaca terjemahan al-qur’an untuk sebuah penampilan Sari Tilawah di hari penutupan Sambang Sekolah. Dengan tersenyum, ia mengangguk tanda setuju.

Benar saja, anak tersebut tampil dengan memukau. Setelah acara usai, saat berpamitan dengan pihak sekolah, salah seorang guru nyeletuk,”Sebentar kak, kira-kira siswa ini di baca-bacain apa sama kakak-kakak Compok Literasi?” Kami yang ada diruangan itu terheran dengan pertanyaan itu, namun belum sempat merespon guru tersebut melanjutkan,”Karena beda rasanya, banyak perubahan yang dialami siswa. Semisal siswa yang tidak bisa membaca itu, dan bisa-bisanya dia berani tampil tadi”.

Kamipun tersenyum, tak dapat membendung rasa bangga, serta sebisa mungkin menjawabnya secara normatif. Karena secara pribadi kami tidak tahu, kegiatan mana dan aktivitas apa yang mendorong perubahan itu. Hanya saja selama 3 bulan berlalu, kami melakukan ikhtiat-ikhtiar kecil dan proseslah yang bekerja. Maka dari pengalaman tersebut, kami kemudian semakin yakin bahwa Sambang Sekolah ini harus diteruskan dan dilaksanakan setiap tahunnya.

Maka ditahun 2022 kami mencoba melakukan rekrutmen terbuka relawan, kali ini kami mencoba untuk menyambangi sekolah pada jenjang Sekolah Menengah Atas. Dan kami berhasil mengumpulkan sekitar 50 lebih pendaftar. Namun, sebab alasan siswa sekolah yang kami kunjungi hanya ada 15 siswa pada sekolah tersebut. Maka kami memutuskan menyeleksi para pendaftar, agar nantinya tidak lebih banyak relawannya dibanding siswanya. Mungkin disini akan timbul pertanyaan, “Hanya 15 siswa dalam 1 sekolah?”. Kami dengan yakin akan menjawab, “Iya!”. Nyatanya memang begitu, karena yang menjadi dasar keputusan kami menyambangi sekolah-sekolah tersebut, adalah keunikan dan masalah-masalah yang dialami sekolah tersebut.

Akhirnya kami memutuskan untuk memilih 15 relawan, meskipun hingga program berakhir hanya tersisa 5 orang relawan. Meskipun begitu, kami merasakan sebuah kemenangan kali ini. Berhasil membuat sebagian siswa kembali semangat untuk bersekolah, dan mengajak mereka menyadari pentingnya pendidikan.

Selain itu, pada kegiatan puncak Sambang Sekolah. Seperti biasa, kami membuat sebuah perayaan sederhana, bertajuk “Festival Padamu Negeri”. Mengadakan kegiatan bazar dimana produknya adalah hasil karya siswa, kemudian juga dimeriahkan penampilan-penampilan bakat yang dimiliki siswa. Lalu kami menghadrikan orang tua siswa. Dan kabar baiknya, produk yang merka buat ludes serta penampilan-penampilan mereka berhasil memukau para orang tua yang hadir pada hari itu.

Tak ayal membuat pihak sekolah kagum, menyampaikan bahwa hal tersebut perdana terlaksana di sekolah. Seakan ada warna baru dan memberikan sokongan semangat untuk sekolah kedepannya. Kemudian mendo’akan, agar program Sambang Sekolah terus berlanjut ditahun-tahun berikutnya.

Rasanya dari do’a-do’a tersebut, hingga 2023 Sambang Sekolah tetap eksis. Kami kembali membuka pendaftaran relawan. Dan bersukur disambut pendaftar dari berbagai kalangan. Mulai dari Mahasiswa, Pegawai Negeri, Karyawan bahkan menarik para Pengusaha. Dengan proses seleksi yang sama, para Relawan yang terpilih pada program Sambang Sekolah kali ini, kami meminta untuk mencatat setiap hal seru dan berkesan selama menjadi Relawan.

Yang menjadi menarik, mereka di dominasi oleh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan menulis yang mumpuni, bahkan barangkali baru serius menulis sebab terjerumus dan terlanjur menjadi Relawan. Maka, barangkali pada beberapa bagian cacatan yang mereka tulis kurang sedap serta kurang  bisa dinikmati, mohon dimaklumi.

Selamat menikmati apa adanya.

https://compokliterasi.org

Yang ngurusin konten medianya Compok Literasi! share hal-hal menarik yang barangkali bisa menghibur kamu, syukur-syukur bisa bermanfaat :)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *