Catatan Pebisnis Pemula

Merintis usaha ternyata tak semudah bermain jual-jualan di masa kecil. Kala itu, kita bisa berpura-pura menjadi pedagang sukses hanya dengan beberapa lembar daun sebagai uang mainan, dan tumbuhan sekitar yang diperlakukan sebagai barang dagangan. Nyatanya, bermodal nekat saja tak cukup untuk bertahan. kita perlu percaya pada kemampuan yang kita miliki. Sehingga, ketika menghadapi tantangan, kita tetap yakin pada langkah yang telah diambil.
Desember 2024, saya memulai perjalanan di dunia bisnis. Berbekal dukungan ibu, saya memantapkan diri melawan ketakutan. Dan benar saja, satu bulan pertama ini saya disapa dengan kalimat sinis dari berbagai sudut pandang mata—seolah saya tidak mungkin bertahan di tengah kerasnya dunia bisnis, seolah sebentar lagi saya gagal, seolah saya tidak bisa. Asumsi-asumsi ini saya anggap datang dari mereka yang malas berusaha. Maka, saya memilih untuk tidak memedulikannya.
Namun, ini tidak lagi sekadar “ucapan angin lalu” saat yang mengatakannya adalah seseorang yang sangat berarti, mereka yang berperan dalam perjalanan panjang ini, seperti Ibu. Kala itu, saya bercerita bahwa belum lama ini saya terlibat adu mulut dengan salah satu owner warkop tempat saya menitipkan dagangan, karena kurangnya komunikasi mengenai rincian stok dagangan. Ia malah menanggapi, “Mbak, udahlah berhenti saja. Nggak perlu sekeras itu, biarlah kami yang penuhi semua kebutuhanmu. Toh, kamu baru aja mulai, jadi nggak eman-eman banget.”
Ucapannya benar-benar meruntuhkan benteng yang saya bangun untuk melawan ketakutan. Ibu tidak tahu bahwa untuk memulai bisnis ini, saya perlu meyakinkan diri berkali-kali. Membangun rasa percaya pada diri saya yang amat ceroboh ini. Membangun komitmen untuk selalu memperjuangkan apa yang saya mulai.
Saya tidak membiarkan diri ini menyerah dan hancur karena ucapannya. Terlalu dini untuk berhenti. Ibaratnya tunas baru tumbuh, tapi sudah ditebas begitu saja. Saya tahu dari tatapannya bahwa berat baginya membiarkan saya, yang dengan keras kepala memilih untuk tetap melanjutkan bisnis ini. Tatapan itu terasa menyebalkan, seolah saya benar-benar tidak mampu.
Dan, benar saja, itu sudah berlalu. Meski sering goyah dan masih dihantui keraguan, saya tetap berpegang teguh untuk terus mencoba. Gagal, bangkit, mencoba lagi—sampai saya benar-benar merasa cukup.
Ini menjadi catatan kecil dalam perjalananku, bahwa setiap mimpi yang kita inginkan bukan hanya soal meyakini diri sendiri, tapi juga bagaimana menemukan kenyamanan dalam setiap prosesnya.