Jejak Pagi

Jejak Pagi

sunflower during sunset

Seandainya dering ponsel kemarin tak kuhiraukan, pagi ini aku pasti masih menjalani aktivitas monotonku di rumah. Tempat favoritku tak jauh dari kasur atau sofa ruang tamu. Membaca buku setelah bosan scroll media sosial selama yang aku mau.

Tapi pagi ini, aku sudah berada di tempat yang kanan kirinya, baik dekat maupun jauh, menawarkan berbagai pilihan kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan pangan. Aku berada di sini mengikuti permintaan Mama—adik dari ibuku—untuk menemaninya berbelanja.

Aku senang bukan kepalang, padahal biasanya setiap ke pasar aku selalu merasa bosan. Tempat ini terlalu ramai—yah, tentu saja, ini pasar. Mana mungkin berharap sepi seperti kuburan, kan? Tapi kali ini berbeda. Aku sampai saat mereka belum banyak yang datang.

Pagi-pagi buta aku sudah di sini, di tepi lapak penjual sayur. Mama memintaku untuk tidak ikut menyusuri pasar, khawatir aku kelelahan. Pikiran apa itu? But, wait! Jangan kira aku akan diam di sini menunggu sampai Mama selesai belanja. Jiwaku tidak se-introver itu.

Aku mulai melangkah, menapaki jalanan aspal. Setapak demi setapak, langkahku terhenti ketika netraku menangkap sosok menarik. Seorang wanita tua berperawakan ringkih, dengan baju hampir lusuh, senada dengan kerudung model kupluk yang menutupi telinga dan rambut putihnya.

Tubuhnya sudah membungkuk meski ia dalam posisi duduk. Tepat di depannya, beberapa umbi-umbian tersusun, hampir melingkari tempat ia duduk. Aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya.

“Mbah, ini dijual per kilo?” tanyaku pelan.

Mbah itu hanya tersenyum dan mengangguk, mengiyakan pertanyaanku.

“Mau berapa kilo, Nak? Buat apa?” tanyanya kemudian.

Aku menggeleng pelan. “Setengah aja ya, Mbah.”

Mungkin kalian juga bertanya-tanya, untuk apa umbi itu kubeli. Sebenarnya, aku tidak membutuhkannya. Aku hanya ingin menemani Mbah itu sebentar, sambil menunggu Mama selesai berbelanja. Entah di pasar bagian mana Mama berada sekarang.

Setelah kuletakkan belanjaanku di samping kaki, tiba-tiba rasa canggung menyergap. Aku merasa tidak nyaman dan kebingungan. Pertanyaan apa lagi yang harus kutanyakan lebih dulu? Terlalu banyak pertanyaan berseliweran di kepalaku, hingga tak satu pun mampu kuutarakan.

“Kelas berapa, Nak?” tanyanya.

Aku menyeringai kuda. “Sudah lulus strata satu, Mbah.”

Raut wajahnya langsung berubah terkejut.

Aku cepat-cepat menambahkan, “Ini karena postur tubuhku saja yang mungil, Mbah.”

Mbah itu mengangguk, sontak kami berdua tertawa. Yah, begitulah. Umurku terjebak di tubuh mungil ini. Banyak orang sulit percaya jika aku sudah berkepala dua.

Mbah kemudian bercerita bahwa postur tubuhku hampir sama seperti cucunya. Sanak keluarganya memiliki tubuh proporsional, tapi tidak dengan cucunya itu. Mbah sedikit heran kenapa pertumbuhannya berbeda.

“Tapi, itu tidak masalah,” katanya sambil tersenyum. “Mental dan kesehatan yang paling penting.”

Menurut Mbah, cucunya—dan aku—bukan stunting, karena tidak memenuhi ciri-cirinya. Penyebabnya lebih karena hormon.

“Mbah lupa hormon apa kata bidan di rumah,” lanjutnya sambil tertawa kecil.

Kami tertawa lagi, seolah sedang berdialog antara seorang nenek dan cucunya. Ya, tentu saja aku adalah cucu dan dia seorang nenek—maksudku, suasananya begitu akrab, seperti kami sudah saling kenal sejak lama, tanpa rasa canggung.

“Cucu Mbah kuliah juga?” tanyaku melanjutkan obrolan.

Bhunten (tidak). Dia kerja di Surabaya,”

Aku mengangguk paham. “Mbah jualan di sini setiap hari atau ada tempat lain?”

Sambil melayani pembeli yang baru datang, Mbah mengangguk.

“Dari jam berapa sampai jam berapa, Mbah?” tanyaku lagi.

“Mbah berangkat setelah sholat subuh,” jawabnya tenang.

Aku mengangguk lagi sambil mengambil foto jalanan pasar yang mulai ramai.

“Siapa yang mengantar dan menjemput Mbah ke pasar?”

“Mbah jalan kaki.”

Aku terkejut. Jalan kaki? Pasti Mbah ini bercanda. Aku menggerutu dalam hati.

Ternyata, pernyataan itu benar adanya. Mbah bercerita bahwa setiap hari ia berjualan di Pasar 17 Agustus Pamekasan. Ia berjalan kaki ke pasar setelah sholat subuh. Mbah tinggal bersama cucunya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, adik dari cucunya yang bekerja di Surabaya. Untuk kebutuhan sehari-hari, Mbah sering menerima kiriman uang dari cucunya lewat bank milik tetangga.

Mbah terlihat masih sangat sehat untuk usianya, bahkan mungkin lebih sehat dibandingkan nenekku yang usianya tak jauh berbeda. Berjualan di pasar bukan karena kekurangan uang, melainkan karena ia tak betah berdiam diri di rumah sambil menunggu cucunya pulang sekolah. “Lebih baik berjualan,” katanya. Untung saja rumahnya tak terlalu jauh dari pasar, masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki.

“Mbah dulu juga sering ke pasar. Tapi bukan buat jualan,”

Aku mengerti maksudnya. “Tentu saja, Mbah. Waktu muda, seorang wanita pasti suka berbelanja, ‘kan? Itu hal yang biasa bagi seorang istri,” jawabku antusias.

“Mbah nemenin almarhum suami Mbah, Nak.”

Aku terdiam, bibirku membulat. Mendadak suasana menjadi haru.

“Dulu, Mbah orang berada. Apa pun yang Mbah minta ke orang tua, pasti selalu dikasih,” lanjutnya.

Aku masih mendengarkan.

“Sampai akhirnya Mbah ketemu almarhum. Dia mau menikahi Mbah dengan maskawin Rp20.000,00. Mahar sebesar itu dulunya sangat banyak. Tapi, buat keluarga Mbah yang kaya, orang tua hampir tidak merestui karena khawatir Mbah nggak bahagia.”

Sesaat, Mbah merapikan umbi-umbian yang tergeletak di luar jangkauan. Aku ikut membantu merapikan.

“Setelah bersama almarhum, Mbah senang. Dia orang yang sabar, bertanggung jawab, dan selalu mengalah dalam rumah tangga. Mbah suka menemani dia ke pasar.”

“Suami Mbah jualan apa dulu di sini?” tanyaku penasaran.

“Memperbaiki sandal yang rusak atau menjahit sandal agar awet. Hasilnya memang tidak banyak, tapi cukup untuk makan berdua,” jawab Mbah sambil tersenyum tipis.

Mbah bercerita bahwa ia hanya memiliki satu anak. Butuh waktu lama hingga akhirnya Mbah bisa hamil dan melahirkan seorang anak perempuan. Namun, perjalanan hidup anaknya tidak berjalan mulus. Rumah tangganya hancur karena hadirnya orang ketiga. Setelah resmi bercerai, dua tahun kemudian anaknya meninggal dunia, meninggalkan dua anak yang kini hidup bersama Mbah.

Beberapa bulan berselang, suami Mbah pun meninggal dunia. Sejak saat itu, mereka hanya tinggal bertiga—Mbah dan kedua cucunya. Kini, rumah menjadi lebih sepi, hanya berdua saat cucu pertamanya bekerja di Surabaya.

“Mbah menemukan ketenangan jika ada di pasar,” lanjutnya.

“Kenapa, Mbah? Bukannya di sini terlalu ramai?” tanyaku heran.

Bagaimana bisa seseorang merasa tenang di tempat seramai ini? Dari berbagai arah, suara demi suara saling bersahutan hingga membentuk gumpalan kebisingan yang sulit dihentikan. Lagipula, bukankah pasar tempat yang tak disukai Nabi? Aku tetap heran, meski aku tahu setiap orang punya jalan menuju kedamaian yang berbeda.

Aku menunggu jawaban Mbah, yang sedang merapikan rambut di dahinya.

“Mbah mengenang almarhum di tempat ini,” katanya pelan.

Aku langsung paham maksudnya. “Mbah sedih?” tanyaku hati-hati.

“Sedikit sedih itu pasti, Nak,” jawabnya sambil tersenyum tipis. “Tapi kesedihan itu bukan penyesalan. Dari kehidupan Mbah yang dulu mewah sampai menjadi sangat sederhana setelah menikah dengan almarhum, Mbah banyak belajar arti hidup yang sesungguhnya. Itu semua justru membahagiakan.”

Aku tergugu mendengar jawabannya. Kata-katanya terasa begitu dalam.

Sampai akhirnya, dari kejauhan, aku melihat bahu Mama. Sepertinya dia sudah selesai belanja.

Aku tersenyum lagi. “Mbah, jika aku ke pasar lagi, boleh nemenin Mbah di sini sambil cerita-cerita lagi, nggak?” tanyaku.

Rasanya aku ingin terus mendengar cerita dan wejangan wanita tua ini, atau sekadar berbagi cerita ringan. Bersama Mbah, aku merasa nyaman, seperti benar-benar cucunya sendiri.

Mbah tersenyum dan mengangguk.

“Namaku Rey, Mbah.”

Mbah mengernyitkan dahi. “Seperti nama anak laki-laki saja.”

Kami tertawa kecil. “Bukan, Mbah. Kalau Roy, itu baru terdengar seperti nama laki-laki,” jelasku.

Mbah mengangguk sambil tersenyum. “Nama orang zaman sekarang memang susah dan aneh,” komentarnya.

Aku tertawa lagi, paham maksudnya. Memang, zaman kami terpaut jauh—mulai dari nama, kebiasaan, hingga gaya hidup.

“Kalau kamu ke sini lagi, sebut namamu, ya, Nak. Mbah suka lupa. Biasalah, sudah tua,” pintanya, terkekeh kecil. “Dan nama kamu susah Mbah sebut.”

Aku tersenyum paham. “Yang penting Mbah nggak lupa wajahku,” candaku.

Dialog kami sebenarnya cukup kaku jika dilihat dari topik pembicaraan, tapi cara Mbah berbicara membuat semuanya terasa cair. Meski akrab, aku tetap menjaga sopan santun. Bagaimanapun, Mbah ini orang tua dan aku baru saja mengenalnya. Tapi, interaksi kami cukup baik untuk dua orang asing, bukan?

Mbah mengangguk. “Mama-mu sudah selesai belanja, ya?”

Aku melihat mama mendekat dari kejauhan. “Sepertinya iya, Mbah,” kataku, bersiap pamit. Aku menyalami Mbah, lalu berjalan menuju motor. Mama juga hampir sampai ke tempatku.

Kami pergi dari pasar itu dengan banyak belanjaan di depan jok motorku. Tapi yang kubawa pulang bukan cuma belanjaan, melainkan juga cerita dari wanita tua tangguh yang kutemui pagi ini.

“Hidup ini 10% apa yang terjadi padamu dan 90% bagaimana kamu menanggapinya.” -Charles R. Swindoll

Penulis: Reyhanaa


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *