Daur Hidup Compok Literasi, Ikhtiar Memperpanjang Manfaat

Sembari duduk bersila, kedua tangannya sedekap lalu menyandarkan badannya ke dinding dan berkata,“Di Pamekasan, Berbicara Soal Kerelawanan!” ujar seorang pemuda dengan pesimis saat pertama kali saya memperkenalkan Compok Literasi. Kalimat itu masih terngiang di telinga saya hingga kini. Di kesempatan lain, pada suatu hari di tahun 2021, dalam sebuah obrolan di sebuah warung kopi, seorang teman menyampaikan bahwa ada orang yang saya tidak kenal yang berkomentar, “Paling Compok Literasi itu hanya bertahan satu tahun. Tahun berikutnya, kita lihat saja!” Dengan santai, saya menanggapinya dan mengatakan pada teman saya bahwa mungkin orang itu tidak tahu jika Compok Literasi sudah ada sejak tahun 2017, bahkan ketika saya belum berada di Pamekasan. Faktanya Compok Literasi tetap bertahan pada 2021, meskipun saat itu COVID-19 mengguncang stabilitas banyak organisasi. Hingga tahun 2024 ini Compok Literasi masih bertahan, dan program Sambang Sekolah itu telah memasuki musim kelima.
Saya masih ingat dengan jelas saat pertama kali kegelisahan itu muncul tentang bagaimana proses tumbuh dan tumbangnya sebuah gerakan kolektif. Sejak 2014, saya mulai terlibat dalam beberapa gerakan kolektif, mengamati bagaimana dinamika di dalamnya bekerja. Biasanya, sebuah gerakan berhenti ketika sosok utama atau inisiatornya pergi—entah karena berpindah ke tempat lain atau keadaan kemudian memaksa mereka untuk berhenti. Pengamatan ini saya temui, ketika saya dipercaya untuk mengelola data komunitas/organisasi literasi di Jejaring Pustaka Bergerak Indonesia yang terhimpun hamper berjumlah 3.000 jejaring. Polanya selalu sama: inisiator suatu gerakan selalu menjadi kunci utama bertahan atau tidaknya sebuah gerakan kolektif.
Kesimpulan pengamatan tersebut barangkali bukanlah hal baru. Sebagaimana teori klasik yang dipelopori oleh tokoh seperti Frederick Winslow Taylor dan Max Weber, menekankan pentingnya struktur dan sistem dalam organisasi. Bahwa kekuatan sebuah organisasi tidak bisa hanya bergantung pada sosok. Harus ada sistem, sebuah kerangka yang menopang, menjaga agar ia tetap hidup ketika manusia-manusia di dalamnya datang dan pergi. Sejarah kerajaan-kerajaan besar di Nusantara berbicara hal serupa. Mereka sering kali runtuh bukan hanya karena musuh dari luar, tetapi karena mereka bertumpu pada satu tokoh, satu figur sentral. Ketika sosok itu lenyap, kerajaan pun kehilangan arah. Dalam percakapan Gita Wirjawan dengan Herald van der Linde di serial podcast Endgame, Majapahit dibicarakan dengan nada serupa: terkait kejayaan hingga keruntuhannya salah satu faktonya disebabkan oleh sistem kelembagaannya yang tidak terbangun dengan baik, dan terlalu bergantung pada figur sentral, semisal Gajah Mada dari pada pada sistem yang kuat.
Maka wajar saja, banyak gerakan kolektif yang ukurannya tak seberapa itu bisa dengan mudah runtuh ketika sosok inisiatornya tumbang. Itulah yang menjadi kekhawatiran saya sejak mendirikan Compok Literasi. Maka saya berusaha membangun Compok Literasi, agar dapat berjalan dengan sebuah sistem, yang meski sosok-sosok pionernya suatu saat nanti pergi, silih berganti siapapun bisa melanjutkan, sehingga diharapkan kelak dapat berjalan tanpa harus bertumpu pada satu sosok saja.
Namun, setelah saya menyadari hal tersebut, kekhawatiran itu tetap tak serta-merta hilang. Pertanyaan berikutnya yang harus segera saya jawab adalah bagaimana cara memulainya. Pada gerakan kolektif berbasis kerelawanan ini, proses regenerasinya saja tentu menjadi tantangan tersendiri. Itulah mengapa ketika pertama kali bertemu seorang pemuda itu, saya mendapatkan respons skeptis, seperti yang saya ceritakan di paragraf pembuka. Ini bukan masalah karena saya bergerak di Pamekasan, namun nampaknya merupakan tantangan berbagai gerakan kolektif. Bahkan, sejak pertama kali saya terlibat dalam komunitas sosial, kesulitan mencari penerus dalam gerakan kolektif sudah menjadi masalah umum mereka. Hal ini bukan hanya pengalaman pribadi, tetapi juga dialami oleh rekan-rekan dalam jejaring Pustaka Bergerak Indonesia, yang berjumlah hampir 3.000 jaringan. Di jejaring ini, sebagian besar anggota juga mengalami kesulitan dalam hal regenerasi. Jadi, sulit rasanya membangun gerakan yang memiliki sistem yang baik, jika orang-orang yang akan menjalankannya saja sulit ditemukan.
Oleh karena itu, solusi yang terpikir saat itu adalah bagaimana Compok Literasi membuat sebuah program yang mampu menarik minat masyarakat untuk ikut terlibat di dalamnya. Kami pun memutuskan untuk menggagas program Sambang Sekolah. Secara konsep, program ini mirip dengan Indonesia Mengajar, namun dalam versi yang lebih sederhana dan hanya berskala lokal. Pada Februari 2021, kami mulai memperkenalkan program ini kepada beberapa orang asing yang kami temui di kedai kopi. Selain niat utamanya tentu untuk menjaring penerus dari gerakan Compok Literasi ini, kami juga menjelaskan bahwa tujuan utama program ini adalah menyediakan wadah bagi anak-anak muda yang ingin berkontribusi dalam dunia pendidikan. Program ini juga bertujuan untuk berkolaborasi dengan para guru dalam menghadapi tantangan proses pembelajaran, sambil menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi siswa.

Respons dari anak-anak muda yang kami temui cukup beragam. Beberapa menunjukkan antusiasme, namun ada juga yang ragu karena belum pernah membayangkan diri mereka mengajar. Beberapa bahkan merasa pesimis, mempertanyakan bagaimana mereka yang tanpa pengalaman mengajar dapat langsung membantu guru dan siswa di sekolah. Kami pun berusaha meyakinkan mereka bahwa program ini bukan bertujuan untuk mengajarkan materi kurikulum sekolah. Sebaliknya, kami datang ke sekolah untuk mengenali kendala yang mungkin menghambat proses belajar mengajar, kemudian mencoba mencari solusi sederhana yang relevan dan dapat diterapkan di sekolah tersebut.
Solusi yang kami tawarkan cukup sederhana, dengan pendekatan kegiatan belajar yang menyenangkan dan melibatkan siswa, baik secara individu maupun kelompok. Kami juga memprioritaskan penggunaan media yang mudah dijangkau, murah, dan akrab bagi siswa, agar materi lebih mudah dipahami dan meninggalkan kesan mendalam. Misalnya, jika di sekolah ada permasalahan terkait kebersihan, kami bisa mengajarkan cara membuat tempat sampah dari bahan bekas dan membangun kebiasaan membuang sampah pada tempatnya melalui permainan yang interaktif, bukan dengan metode ceramah.
Pada mulanya, kami hanya berhasil mengajak 8 anak muda bergabung dan memilih SMP Al-Ibrohimy sebagai sekolah pertama yang kami kunjungi. Kegiatan di sana berlangsung selama tiga bulan dengan total enam pertemuan—cukup untuk membangun kedekatan dengan siswa dan mengevaluasi hasil di setiap pertemuan. Program perdana ini berjalan lancar dan menjadi pengalaman berkesan, memberi kami kepercayaan diri untuk melanjutkan program berikutnya di MI Nurul Faizin, sebuah SD di Kecamatan Kadur yang lokasinya lebih terpencil dan menantang. Kali ini, kami berhasil mengajak sekitar 15 anak muda bergabung, meskipun 8 di antaranya merupakan relawan dari program Sambang Sekolah sebelumnya.
Program Sambang Sekolah ketiga diadakan di SMK Padamu Negeri. Pada musim ketiga ini, pendaftar yang ingin bergabung cukup banyak, mencapai 56 orang. Namun, karena total siswa yang akan kami sambangi hanya sekitar lima belas orang, kami memutuskan untuk mengadakan seleksi dan memilih 12 relawan. Berbeda dengan Sambang Sekolah keempat yang dilaksanakan di MI Darul Mujtahid, kali ini kami hanya mendapatkan 15 relawan, dan yang bertahan hingga akhir hanya 10 orang. Hampir semua jenjang pendidikan telah kami sambangi. Bersyukur, di tahun 2024 ini kami masih diberi kesempatan untuk melaksanakan program Sambang Sekolah musim kelima, dengan 20 pendaftar yang berkenan menjadi relawan. Sejak tahun 2021, program ini telah berhasil menjaring sekitar 62 relawan yang terlibat dalam perjalanan panjang Sambang Sekolah.
Namun dari 62 relawan yang telah bergabung itu, apakah Compok Literasi telah memenuhi cita-citanya untuk menjadi sebuah gerakan yang hidup dalam kerangka sistem yang ideal? Jawabannya, mungkin, masih butuh waktu yang lebih panjang. Yang baru terjawab adalah soal kehadiran: menemukan para relawan, menghimpun niat, dan bergerak bersama. Tetapi, dari 62 relawan yang bergabung, kenyataannya hanya sebagian yang bertahan hingga akhir. Seperti Hukum Pareto 80/20, di mana hanya sebagian kecil yang memberi napas panjang bagi gerakan ini, sementara sisanya datang dan pergi, menyisakan jejak yang samar. Sehingga, perjalanan ini masih harus menempuh jalan yang panjang, seperti sungai yang mencari jalan ke laut—berliku, kadang surut, akan tetapi ia tetap bergerak.
Namun, ada harapan yang saya titipkan di sana, di dalam arus itu. Bahwa kelak, Compok Literasi akan tiba pada cita-citanya, menjadi sesuatu yang bisa hidup bahkan ketika saya atau pioneer lainnya sudah tak di sana lagi. Karena Compok Literasi tidak lahir untuk saya atau orang-orang pertama yang ikut mewujudkannya, atau untuk satu masa; ia hadir sebagai panggilan bagi siapa pun yang ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Di penghujung tulisan ini, saya teringat Mas Heru, inisiator gerakan kolektif bernama Rumah Kreatif Wadas Kelir yang ia gagas sejak 2013 hingga lebih dari satu dekade kemudian, menjalani perjalanan panjang. Dan saat ia berkesempatan jadi narasumber pada sebuah forum, ia menyampaikan sebuah sebuah kesimpulan yang ia temui dalam perjalannnya: nasib dan tugas sebuah gerakan kolektif adalah “Tumbuh dan Tumbang.” Jika mengingat hal tersebut, saya memahami bahwa kehadiran saya, orang-orang setelah saya, dan para relawan Sambang Sekolah 5 yang termutakhir ini, hanyalah upaya untuk memperlambat proses tumbangnya, sambil terus berusaha membuat Compok Literasi tetap tumbuh. Dengan kata lain, semua ikhtiar yang dilakukan—baik dalam upaya menghimpun relawan maupun membangun sistem yang kokoh—pada dasarnya adalah bagian dari ikhtiar untuk “Menolak Tumbang.” Upaya ini bukan untuk meraih keabadian, melainkan untuk memberi ruang bagi setiap orang yang datang agar bisa terus mencipta manfaat bagi sesama, selama yang mungkin, selama yang mampu.
Ari Ghi | Pamekasan, 12 November 2024