Kesunyian Ronggo Sukowati

Langit Pamekasan sore itu kelabu. Awan menggantung rendah, menyisakan udara lembap setelah hujan. Jejaknya masih tertinggal di berbagai sisi kompleks pemakaman Ronggo Sukowati, menggenang di ubin yang sebagian berlumut, menetes di dedaunan basah, dan menguar dalam aroma tanah yang baru saja dibasuh langit.
Peristirahatan terakhir Ronggo Sukowati terletak di tengah kota, tepat di Jalan KH. Agus Salim, bersebelahan dengan pusat perbelanjaan tradisional, Pasar Kolpajung. Trotoarnya penuh sesak. Motor-motor bekas berjejer menunggu pemilik baru. Pedagang sayur-mayur mengibas-ngibas dagangan mereka, mengusir lalat yang tak pernah diundang. Sore hari di tempat ini bukanlah waktu yang sunyi. Tawar-menawar, deru kendaraan, dan lalu-lalang orang, menjadi latar bagi siapa pun yang hendak menziarahi sang raja.
Area trotoar dan pemakaman raja ini hanya berbatas pagar. Gerbang kecil menjadi pintu masuknya. Sekilas saat pertama memasuki tempat ini, tampak seperti pemakaman umum, tanpa tanda mencolok yang menegaskan bahwa di sinilah seorang penguasa bersemayam. Pohon kamboja tumbuh liar di berbagai sudut, kelopaknya jatuh berserakan, menyatu dengan tanah basah. Saya sempat ragu, benarkah ini makam seorang raja?
Namun, langkah kaki terus membawa saya ke are pemakaman. Kunjungan ini, adalah kali pertama sama saya dan di temani peserta D’Knowlast, pelatihan kepunulisan intens. Menelusuri area ini, saya tiba di pintu gerbang kedua yang lebih tinggi dan gagah, dengan cat putih bersih. Kami menaiki beberapa anak tangga kecil, di sampingnya tertulis, “Sandal dilepas”. Di baliknya, bangunan-bangunan tua tampak lusuh. Tempat sholat sederhana berdiri di sudut, sementara kamar mandi kecil di sampingnya, sarang laba-laba menggantung di sudutnya. Seolah waktu di tempat ini dibiarkan berjalan tanpa campur tangan, perlahan melapukkan jejak sejarahnya.
Dari gerbang kedua, jalan berubin putih selebar satu setengah meter membawa saya ke gapura ketiga. Lebih kecil dan sederhana, menjadi pintu terakhir menuju peristirahatan panjang. Memasuki gerbang ini, suasana sunyi dan tenang, seolah saya melangkah ke sisi lain dunia, jauh dari hiruk-pikuk trotoar yang baru saja dilewati.
Di dalamnya, sebuah cungkup berdiri, menaungi sebuah kejhing (nisan) yang bentuknya tampak asing, berbeda dari kejhing-kejhing yang biasa saya lihat. Kejhing itu terletak di atas lantai cungkup yang dibuat lebih tinggi, sekitar 30 cm dari tanah, menjadi pembeda dengan makam lainnya. Di sisi utara cungkup, papan kayu tergantung, bertuliskan tangan: “Pesarean Panembahan Ronggosukowati. Raja pertama dan pendiri Kerajaan Pamekasan.”
Keheningan di area ini terasa begitu dalam, mengisyaratkan kebijaksanaan sosok yang bersemayam di sini. Ketenangan itu membekas dalam benak saya dan beberapa kawan, menahan kami untuk bertingkah berlebihan. Bahkan bunga yang kami bawa tak berani kami letakkan di atas pusara raja, seakan ada batas yang mengingatkan kami agar tidak cangkolang (lancang).
Pilar sebelah kiri cungkup ditempel papan silsilah Raja Ronggo Sukawati. Ada banyak nama tertulis, terhubung melalui garis. Nama-nama itu dipetakkan berdasarkan masa kerajaan, mulai dari kerajaan Singasari, Majapahit, Islam-Demak, Islam-Pajang, hingga Islam-Mataram. Nama Ronggo Sukowati berada dibagian ini, Islam-Mataram.
Nama-nama di papan itu tak asing, seperti Tunggul Ametung, Ken Dedes, Ken Arok, Raden Wijaya, Arya Banyak Widhi, dan lainnya. Nama-nama besar yang selama ini hanya saya temui di buku pelajaran, kini terpampang nyata di hadapan saya, terhubung oleh garis-garis hingga ke Ronggo Sukowati. Bahkan, nama Sunan Kudus pun tercantum di sana. Dari garis ayahnya, ia terhubung ke Ken Arok, sementara dari garis ibunya, ia tersambung ke Sunan Kudus. Namun, benang merahnya masih samar. Apakah garis itu menandakan keturunan, atau keterkaitan lain?
Saya mencoba mencari jawaban atau tanda yang bisa memberi penjelasan, tapi tak menemukannya. Tak ada papan informasi, pun orang yang bisa saya tanyai. Sejak tadi, hanya seorang bapak paruh baya yang duduk bersila di depan makam sang raja. Ia sibuk dengan tasbih kecil di tangannya, memutarnya sambil berkomat-kamit. “Sedang dzikir,” pikir saya. Sesekali ia menoleh saat suara kami melewati batas bisik-bisik. Satu-satunya orang di sini, tapi terasa sulit diganggu, bahkan sekadar untuk bertanya.
Saat meninggalkan makam pikiran saya terusik, pertanyaan-pertanyaan itu masih membayang. Raja yang pernah membawa Pamekasan ke masa kejayaan, kini seperti memasuki ruang sunyi dan mulai terlupakan. Namanya kini hanya sebatas penanda jalan, atau identitas terminal kota. Makamnya sepi, ditelan oleh zaman yang lebih sibuk ‘menatap ke depan’ ketimbang menoleh ke belakang. Barangkali, ini bukan sekadar tentang Ronggosukowati. Mungkin ini adalah takdir setiap cerita, dilahirkan untuk dilupakan.
Di luar makam, saya teringat kisah lain. Sosok dari latar pesantren, Kiai Thoha, pernah memimpin Barisan Hizbullah Madura dalam mempertahankan kemerdekaan, terutama pada masa Agresi Belanda. Namun, ketika kisah perjuangannya hendak ditulis, putranya berkata, “Abah tidak suka terkenal.” Penulisan itu baru bisa dilanjutkan setelah peringatan satu abad pesantren Al-Falah yang ia dirikan. “Semoga menjadi figur teladan,” dawuh putranya yang lain.

Saya kembali berpikir, apakah memang ada orang-orang yang memilih dilupakan? Ataukah kita yang tak pernah cukup peduli untuk mengingat?
Di suatu siang, saya berbincang dengan pelajar SMP. Obrolan kami melantur ke berbagai hal, dari tempat bermain hingga pelajaran sekolah. Saya bertanya, “Siapa nama wakil presiden pertama Indonesia?” Anak itu diam, menoleh kanan kiri, seolah mencari jawaban di wajah teman-temannya. Lalu, samar-samar terdengar bisikan. Ia pun menjawab dengan yakin, “Gibran.”
Saya tertegun. Sejarah yang baru seumur jagung pun tampaknya telah bergeser. Jika pemimpin awal republik ini saja tak lagi dikenal, bagaimana dengan Ronggosukowati, bagaimana dengan Kiai Thoha? Sejarah, tampaknya, bukan hanya dilupakan. Ia dibiarkan menghilang, tertimbun oleh masa kini yang sibuk membangun masa depan.
Saya beruntung masih bisa mendengar kisah-kisah dari ibu dan nenek saya. Tentang lenyang, pelepah pisang yang ibu jadikan kertas untuk menulis pelajaran. Atau, biji mangga yang di zaman nenek menjadi alternatif makanan ketika beras hanya impian di masa paceklik. Kisah-kisah ini tak tercatat dalam buku mana pun, tak ada arsip yang menyebutnya.
Saya kembali memikirkan sunyi yang menyelimuti makam Raja Pamekasan itu. Barangkali, sunyi itu bukan hanya suasana. Ia adalah bagian dari ingatan yang perlahan kehilangan pemiliknya. Ia bukan sekadar diam, tetapi ruang kosong yang ditinggalkan waktu. Sejarah yang tak tercatat, atau warisan yang tak lagi diwariskan.
Dan perlahan, saya bertanya, mungkin kah kita sedang menuju sunyi yang sama?