Menangkap Waktu dalam Sambang Sekolah

Menangkap Waktu dalam Sambang Sekolah

Sebuah Catatan Penutup oleh Baitur Rahman

“. . catatan-catatan ini merupakan sebuah kotak waktu. Yang tak hanya menyimpan suatu kenangan, namun juga sebuah kesadaran.”

Megahnya fasilitas pendidikan yang kita terima seringkali membuat kita lupa bahwa di berbagai wilayah masih banyak orang-orang yang belum mendapatkan pendidikan secara layak. Potret ini menjadi gambaran yang saya alami. Saat diberkati sebuah kesempatan mengenyam pendidikan disebuah kampus di kota Semarang, yang memiliki reputasi nasional yang baik, dengan fasilitas lengkap nan megah. Itu membuat saya sempat terlena dan lupa pernah dihadapkan pada sebuah kenyataan anak-anak pelosok yang jauh dari konsep ‘nikmatnya berpendidikan’.

Sebelumnya saya aktif di berbagai komunitas pendidikan di kabupaten Pamekasan, yang mencoba memberikan ruh baru terhadap pengalaman belajar anak-anak pelosok. Ada beberapa komunitas, tapi komunitas Compok Literasi memberikan warna baru melalui program Sambang Sekolahnya. Menariknya, keterlibatan saya pada Sambang Sekolah sejak program ini masih berwujud ide. Dan hal tersebut menjadi pengalaman singkat, namun cukup memberi pengaruh dalam kehidupan saya.

Banyak momen yang tertangkap dalam benak dari setiap episodenya. Sambang Sekolah 1 tertata rapi dalam sebagian memori, tentang bagaimana kami hadir bersama anak-anak di wilayah pelosok yang sangat sedikit siswa. Dari total 3 kelas di tingkat lembaga menengah pertama, jumlah seluruh siswa hanya belasan orang. Jumlah yang jauh dari standar pendidikan nasional, bahkan dijadikan satu kelas pun masih tak cukup. Minimnya jumlah siswa ini berdampak terhadap pengalaman belajar mereka. Kami bersyukur menjadi tempat aman mereka berkeluh kesah, mulai dari cara guru mengajar yang tidak menyenangkan, guru yang selalu marah-marah, melalui tugas-tugas mengerjakan buku paket dan lain sebagainya.

Tidak hanya siswa, kami juga mendengar keluh kesah guru, tentang minimnya semangat belajar siswa, mereka yang datang terlambat, bahkan kealpaan siswa telah menjadi rutinitas yang biasa. Hal itu pula yang menurunkan semangat dan motivasi guru dalam mengasah kreativitas mengajar di sekolah. Bahkan, cerita guru beberapa kali dia harus menunggu siswa datang dan belajar. “Lambat laun itu benar-benar menguras emosi, mas.”

Pada Sambang Sekolah 2, kami dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa masih banyak anak-anak yang belum bisa membaca, padahal mereka ada yang kelas 3, kelas 5, kelas 4 dan kelas 6. Belum lagi potret lain, masih banyak siswa yang memakai sendal jepit ke sekolah. Mereka seperti tidak peduli terhadap keharusan menggunakan sepatu. Entah karena memang mereka benar-benar tidak peduli, atau keadaan yang membuatnya.

Sambang Sekolah 3 adalah penyajian potret pendidikan yang cukup miris di tingkat menengah atas. Di sekolah ini siswa absen, seperti sebuah pemandangan lumrah. Entah karena membantu orang tua bekerja atau karena sebab alasan lain yang membuat mereka malas ke sekolah. Guru-guru di sana juga sudah mulai menyerah terhadap kondisi tersebut. Beberapa kali mereka menjemput siswa untuk sekolah. Tapi, tetap saja tidak ada perubahan persepsi siswa. Bahkan konon, ini juga disebabkan karena absennya tanggung jawab orang tua dalam keterlibatan pendidikan anak. Yang barangkali hanya beranggapan bahwa Pendidikan hanya tanggung jawab guru dan sekolah.

Dampaknya, siswa seperti tidak begitu memberikan perhatian lebih pada urusan sekolah. Memilih bekerja membantu kesibukan orang tua adalah poin utama bagi mereka, meski harus dibayar mahal dengan bolos sekolah. Bahkan ada juga siswa yang menghilang, tanpa pemberitahuan ke sekolah. Dia memilih merantau sekali pun belum tamat. Persoalan ekonomi menjadi salah satu alasan yang menghantui benak mereka.

Dari serangkaian masalah yang kami temui sepanjang Sambang Sekolah 1 sampai 3, kami banyak belajar dari hal tersebut. Terutama dalam hal upaya menawarkan sebuah solusi pada suatu masalah, tidak hanya menyodorkan sebuah teori dan gagasan saja, tapi juga perlu melihat beragam persoalan dari berbagai perspektif, termasuk benturan ekonomi serta mengalami perasaan-perasaan pada kondisi tersebut.

Beberapa hal itu mendorong kami untuk menyusun kurikulum mandiri, memilih metode dan materi yang relevan. Kami memulainya dengan mencoba memasuki ruang bawah sadar siswa, melalui beragam aktivitas yang melibatkan mereka pada suatu pengalaman. Membangun dialog alasan mengapa harus berpendidikan, mengapa harus memiliki impian, bahkan pada hal paling mendasar bagi mereka, yakni keberanian untuk bermimpi. Dimulai dari bagaimana cara mengatur waktu. Bagaimana kesopanan harus dijaga serta cara menghargai sesame dengan 3 kalimat ajaib; tolong, maaf dan terima kasih. Bagaimana pengetahuan tentang kebangsaan harus dimiliki.
Lalu pada sambang sekolah 3, secara khusus kami mengasah pola kreativitas siswa. Melalui pemanfaatan barang-barang sekitar yang dapat diolah menjadi benda-benda kreatif. Banyak ide yang ditunjukkan siswa. Secara mandiri mereka menuangkan idenya, memanfaatkan kulit telur, benang, bahkan tanah liat. Kami meyakinkan mereka, agar berani memberikan harga atas karya mereka.

Diakhir pertemuan kami mengadakan bazar, untuk memasarkan karya-karya tersebut. Kami membeli barang-barang itu sesuai dengan harga yang mereka buat. Barang yang mungkin secara fisik tak layak untuk dipajang. Namun kami membeli makna dan proses dibaliknya, bagaimana keberanian mereka berkarya dan menghargai karyanya. Besar harapan kami, di masa depan mereka mengingatnya, bahwa kreativitas dan keberanian itu bisa membantunya menyelesaikan persoalan hidup yang mereka hadapi.

Dari persoalan-persoalan yang cukup kompleks, serta solusi- solusi yang dirasa sangat sulit diterapkan itu. Sejatinya adalah hal-hal yang sederhana yang kami lakukan. Semisala pada sebuah praktik pembiasaan 3 kalimat ajaib, kami meminta seluruh siswa untuk menuliskan ucapan maaf atau terimakasih kepada orang- orang yang ada di ruang kelas waktu itu.

Kemudian satu persatu kami minta untuk membacakan isi suratnya di depan kelas, sampai pada kesempatan siswa bernama Torik. Ia membacakan sebuah surat yang mempu menggetarkan hati saya, “Untuk kak Bait. Terimakasih telah membuat kami selalu tertawa disetiap pertemuannya.” Padahal, yang saya lakukan waktu itu cukup sederhana. Sekedar menampilkan citra pengajar yang humoris setelah mendengar curhatan siswa bahwa disekolah tersebut ada guru yang suka marah-marah.

Serangkaian ingatan itu berkelindan, menciptakan kesadaran dan medorong saya untuk keluar dari buaian kemegegahan tempat pendidikan yang sempat melenakan itu. Kembali pada kenyataan nasib pendidikan anak-anak pelosok, serta peran keterlibat saya dalam program Sambang Sekolah. Bersamaan dengan itu, saya mendapat kabar dari rekan-rekan di Pamekasan, bahwa Sambang Sekolah 4 akan segera dilaksanakan.

Bersyukur sekali rasanya, program yang bagi saya cukup bermanfaat ini, akan ada yang meneruskan. Tak sabar rasanya ingin kembali terlibat. Meski tak terlibat secara fisik, mungkin dengan sumbangsih pemikiran. Dan beruntungnya saat program ini berlangsung, meski dipenghujung kegiatan dan tidak begitu intens, saya masih bisa terlibat secara langsung dalam kegiatan Sambang Sekolah 4 ini.

Sambang Sekolah kali ini menjadi projek baru yang menawarkan pengalaman berharga bagi perjalanan episode berikutnya. Kami mencoba menerapkan metode baru, kurikulum yang dianggap sukses pada episode sebelumnya kami terapkan pada episode 4 ini. Harapannya, kurikulum ini menjadi role model yang dapat diterapkan pada lembaga pendidikan lainnya, di jenjang yang sama. Adaptasi tentu saja menjadi catatan penting dalam proses penerapannya.

Sambang Sekolah 4 kini telah usai, banyak cerita baru, warna baru, pengalaman berharga lainnya yang akan menjadi pelengkap proses penyempurnaan program Sambang Sekolah. Keindahan episode ini dilengkapi keberanian relawan untuk membagikan pengalamannya. Bercerita melalui buku yang bisa anda baca disini. Tentang nasib anak-anak pelosok, tantangan dan kesulitan yang mereka hadapi, serta keteguhan para relawan yang bertahan hingga program selesai.

Barangkali beberapa kisah didalamnya terlalu sederhana untuk anda nikmati, dan mungkin sulit dipahami apa luar biasanya. Namun bagi para relawan yang terlibat langsung, catatan-catatan ini merupakan sebuah kotak waktu. Yang tak hanya menyimpan suatu kenangan, namun juga sebuah kesadaran, bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Dan kami bersepakat bahwa senyum dan harapan anak-anak pelosok harus kami rawat dan jaga. Sebab mereka adalah sosok yang membawa harapan di masa yang akan datang. Mari ikut serta merawatnya!

Anak magang yang suka melihat kehidupan yang sederhana, katanya, "semua perlu dirayakan!"


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *