Ruang Untuk Kembali

Ruang Untuk Kembali

 “Cara terbaik menemukan diri sendiri dengan berbagi terhadap orang lain”. Itu tentu bukan kalimat saya. Disadur dari Mahatma Ghandi yang sedikit dirubah. “Way to find yourself is to lose yourself in the service of other,” begitu kira-kira versi aslinya.

Kalimat Ghandi ini, terdengar sederhana namun tak pernah benar-benar saya pahami sebelumnya, hingga saya tergabung dalam komunitas Compok Literasi. Komunitas yang bukan hanya menjadi ruang belajar dan berbagi, namun juga menjadi bagian saya dalam mengenal diri sendiri. Sekalipun perjalanan saya di komunitas ini tidak selalu mulus dan bermakna, seperti pada Sambang Sekolah Season 5 yang baru beberapa hari dinyatakan usai, salah satunya.

Pada Sambang Sekolah Season 5 ini, mulai dari rekrutment relawan, hingga penghujung kegiatan, saya sering absen, bahkan hampir seluruh kegiatanya. Entah itu sebagai relawan penggerak, maupun sebatas sharing ide atau diskusi dalam Basic Training of Volunteer (BToV) bersama para relawan dalam menyelesaikan persoalan siswa. Bahkan, bertatap muka sekedar bertegur sapa dengan relawan pun jarang. Hanya saja di akhir program, saya muncul—meski hanya sebentar; datang beberapa jam sebelum acara penutupan, membantu sejenak untuk persiapan, lalu harus pergi lagi. 

Setelah sekian banyak momen absen, saya baru dapat bergabung dalam momen Retrospeksi Relawan. Itu, untuk pertama kalinya saya benar-benar merasa hadir di season ini. Retrospeksi Relawan ini akhir dari serangkaian Sambang Sekolah Season 5. Disini para relawan berkumpul untuk melakukan introspeksi selama kegiatan ini, yang dilakukan dengan camping bareng. Ini, sudah biasa dilakukan sebagaimana pada season-season sebelumnya. Bagi saya momen ini bukan sekadar tempat berkumpul, tetapi menjadi ruang untuk mengenal makna diri.

Meski hanya menjadi orang asing yang tiba-tiba nongol, saya masih diterima dengan baik. Pada momen ini saya dapat merasakan kembali kehangatan antar relawan. Diskusi hangat, yang ditimpali jokes receh menjadi sumbu nyala komunitas. Berbagai latar belakang, bercampur aduk di sini, entah itu influencer, guru, jurnalis, hingga penulis berkumpul dalam ruang yang penuh kehangatan. Bahkan,  relawan yang baru lulus SMA pun juga ada, menambah diskusi dan sesi sharing kami semakin kaya perspektif. Saya pikir, satu-satunya yang menyatukan berbagai latar belakang ini adalah ketulusan. Terdengar klise tapi, begitu adanya.

Kerelawanan sering dianggap sebagai tindakan altuiristik*,1 berbagi tanpa mengharap imbalan. Tetapi di camp itu saya menyadari sisi lain dari kerelawanan, adalah jawaban bagi kebimbangan yang belum bisa diisi dengan pencapaian akademik atau prestasi pribadi. Kerelawanan memberikan ruang untuk berempati, untuk memberi tanpa harap balas, untuk berbagi tanpa merasa kecil. Di tengah hiruk pikuk hidup yang sering kali menuntut penghargaan atas setiap tindakan, komunitas ini menawarkan sesuatu yang sangat langka, yakni ruang untuk merasa cukup hanya dengan memberi.

Malam itu memberi saya kesan, tidak hanya bertemu kembali dengan relawan, tetapi juga bertemu dengan kesadaran diri yang mulai hilang; diri yang pernah begitu bersemangat bermimpi besar bersama Compok Literasi, diri yang pernah percaya bahwa hal kecil yang kita lakukan bisa memberi dampak besar bagi orang lain. Walau setelah ini, barangkali perjalanan di Compok Literasi tidak selalu mulus; akan ada momen-momen ketika saya harus pergi, momen ketika saya lagi, lagi, dan harus lagi absen dari kegiatannya. Tetapi satu hal yang saya tahu pasti, Compok Literasi adalah tempat di mana saya selalu bisa kembali.

Dan bagi saya, itu lebih dari cukup.


  1. altuiristik berasal dari alturisme, adalah tindakan sukarela yang dilakukan untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. ↩︎
Tentang Penulis
Baitur Rahman, pemuda yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan.

Anak magang yang suka melihat kehidupan yang sederhana, katanya, "semua perlu dirayakan!"


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *