Keajaiban itu Mendorong Keberanian

Keajaiban itu Mendorong Keberanian

Ketakutan tidak bisa menjadi “apa-apa”, membuat saya berpikir untuk mendorong orang lain agar percaya “bisa menjadi apapun” sesuai mimpi mereka.

Rosalia Putriana Pratiwi

Berangkat dari pemikiran itu, sekitar Agustus 2024, saya memberanikan diri mendaftar sebagai relawan di salah satu komunitas di Pamekasan, yaitu Compok Literasi. Awalnya, saya mengira Compok Literasi adalah komunitas yang bergerak di bidang literasi dalam artian tekstual, dengan kegiatan seperti baca buku, mengadakan taman baca atau perpustakaan yang bergerak. Namun, setelah mendalami lebih jauh, saya memahami bahwa Compok Literasi memiliki misi yang lebih mendalam: memanusiakan manusia. Dalam pengertian yang sebenar-benarnya, komunitas ini mengajarkan bahwa bagaimanapun bentuk, keadaan, latar, atau warna seseorang, mereka tetap manusia yang bebas untuk bermimpi. Sejauh ini, itu penilaian pribadi saya tentang Compok Literasi.

Ketika memutuskan untuk mendaftar sebagai relawan, saya hanya berharap sederhana: semoga saya berguna di kegiatan ini, semoga kehadiran saya benar-benar dibutuhkan.

Langkah Awal yang Berharga

Sayangnya, pada sesi onboarding yang merupakan pertemuan perdana yang diadakan di basecamp Compok Literasi, saya berhalangan hadir. Dan saya berfikir, nampaknya saya tidak akan diterima untuk mengikuti kegiatan ini, sebab ketidak hadiran saya. Namun, ternyata masih ada onboarding sesi kedua untuk relawan yang berhalangan hadir pada onboarding sebelumnya–hal kecil yang sangat saya syukuri.

Di sinilah saya mulai mendengar kisah tentang sekolah yang akan kami sambangi, yaitu SMA di Pondok Pesantren Al-Kautsar. Jumlah siswa SMA di sana sangat minim, bahkan konon bisa dihitung dengan jari. Hal ini membangkitkan tanda tanya besar di benak saya: “Kok bisa?” Padahal, secara fasilitas dan ketersediaan guru, sekolah tersebut tergolong memadai.

Saat sudah berada di kelas, saya mengamati siswa-siswa duduk rapi dengan ekspresi yang beragam. Dalam hati saya curiga, memantik diri untuk menerka isi pikiran mereka: “Mereka siapa sih?” “Pasti mereka ngebosenin,” “Awalnya aja gini!” Namun, seiring berjalannya waktu, saya justru melihat mereka penuh semangat dan mulai meyakini bahwa anak-anak ini memiliki mimpi yang besar.

Saya terkesan ketika mengetahui ada seorang siswa dengan gangguan pendengaran yang tetap semangat belajar bersama teman-temannya. Hal ini benar-benar membuat saya takjub.

Meski begitu, sebagai pengalaman pertama mengajar siswa SMA, saya tidak bisa memungkiri adanya rasa takut untuk tidak diterima. Saya bertanya-tanya: “Bagaimana caranya berbaur dengan mereka yang sudah mulai beranjak dewasa?”

Kami mengusung materi tentang Pentingnya Pendidikan. Topik ini memicu tanggapan yang beragam dari siswa, mulai dari celetukan serius hingga yang di luar dugaan. Materi ini membuat saya introspeksi diri: “Apa yang sudah aku dapatkan dari pendidikan selama 15 tahun ini? Apa yang aku tahu? Apa yang bisa aku ajarkan?”

Namun, seiring berjalannya diskusi, saya memahami bahwa apapun jalan hidup yang dipilih seseorang, itu tidak berarti mereka harus berhenti belajar. Karena belajar bisa dilakukan di mana saja dan dari siapa saja.

Dari semua episode Sambang Sekolah, Episode 5 adalah yang paling membekas di hati saya. Pada episode ini, kami membawakan materi tentang Menyusun Masa Depan. Sebagai relawan, saya juga ikut merenung: “Bisa nggak ya?” “Sukses nggak ya?” Pertanyaan ini pasti menghantui banyak orang yang mulai beranjak dewasa.

Dalam sesi ini, siswa-siswi diajak untuk menyusun peta mimpi mereka. Saya percaya, apapun hasilnya nanti, yang terpenting adalah usaha yang mereka lakukan. Hasil akhirnya, biarlah menjadi urusan Yang Maha Kuasa. Kalimat sederhana ini, “Apapun hasilnya adalah yang terbaik yang semesta berikan,” menjadi pelajaran berharga yang saya dapatkan dari kegiatan ini.

*****

Selama tiga bulan Sambang Sekolah 5 ini saya memahami jika saya tetap membutuhkan orang lain, tidak semua orang dapat memahami apa yang saya rasakan & alami, sehingga penting agar lebih bisa memahami dan berempati satu dengan yang lain. Pengalaman positif ini mendorong pribadi saya untuk terus tumbuh.

Harapan saya kepada siswa-siswi, bagaimanapun kamu, bentukmu, rupamu, latarmu dan warnamu, kamu selalu bebas menjadi apapun yang kamu mau. Dengarkan kata hatimu dan tetap berjalan di jalanmu tanpa harus merugikan oranglain.

Harapan saya terhadap compok literasi adalah, semoga akan semakin banyak manusia baik hati yang bergabung dan merasakan “magic” nya pengalaman disini, semoga semakin tumbuh mekar dan ada dimana-mana dengan versi terbaiknya.

Sekilas tentang penulis
Hai, nama saya Rosalia Putriana Pratiwi yang lahir di bulan September, sedikit fun fact saya suka coklat tapi tidak suka manis, saya suka malam tapi takut gelap, saya suka ketinggian tapi secara bersamaan benci ketinggian, saya suka pantai tapi juga membenci nya.

https://compokliterasi.org

Yang ngurusin konten medianya Compok Literasi! share hal-hal menarik yang barangkali bisa menghibur kamu, syukur-syukur bisa bermanfaat :)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *