Perihal Cerpen; Gambarkan, jangan Ceritakan

Perihal Cerpen; Gambarkan, jangan Ceritakan

black and red typewriter

Ia tersedak, saat aku tanya tentang perjalanannya. “Gimana perjalananmu malam ini, de”. Es jeruk yang baru ia minum seperti bermain-main di tenggorokannya. Ia menaruh gelasnya di meja dengan kasar, seraya batuk-batuk kecil. Mengernyitkan dahi. Mata bulatnya seakan mau melompat saat bertemu dengan wajahku, untung kaca mata yang ia kenakan menahannya. Bibir merah yang awalnya tersenyum berubah manyun. Tubuhnya sedang menolak sesuatu.

Perubahannya yang begitu cepat, tak bisa ku pahami. Sebelum meminum es jeruk yang baru diantar pelayan Cafe, ia masih cerita hal-hal lucu. Mengingat kisah kami saat pertama bertemu di kota seberang, 3 tahun lalu.

“Es jeruknya kaga, enak?” Aku mencoba menebak.

Ia hanya diam. Kini, kedua alis tebalnya seakan mau bertemu, membentuk sayap elang yang ingin terbang, mencari mangsa. Lesung pipinya tak nampak lagi. Saat aku mau mencicipi minumannya, tiba-tiba suaranya yang lembut terdengar cepat. Seperti sengaja ia hentakkan, “sejak kapan gua jadi adek lu?”

Aku hanya menatapnya. Dan tak kuasa menahan tawa. Perubahan besar itu, bersumber dari kata adek. Perutku sedang menggelitik, tak percaya apa yang aku dengar. Perlahan wajahnya pun memerah. Aku coba menarik nafas. Tapi mulutku tak bisa mengucapkan apa-apa. Suaraku hanya mengeluarkan huruf vocal a dan e. Aku seperti lupa pada kalimat.

“Aaaa… Eeee…”

Ia menghentakkan tubuhnya ke sandaran kursi. Tangannya yang dibalut kaos hitam melipat ditubuhnya.

“Aku lahir pada tahun 1997.” Secara tiba-tiba, suaraku keluar lebih cepat. Sangat cepat dari biasanya. “Haahh.. beneran?” Katanya sambil tertawa. Aku keceplosan. Pikiranku tak bisa dikontrol. Ia ketawa melihatku yang kebingungan.

2 minggu yang lalu, mengenai tahun lahir sempat kita diskusikan, melalui WA. Aku bilang lahir tahun 1999, saat ia berkata lahir di tahun 1998. Waktu itu ia tidak percaya. Berkali-kali membalas chatku dengan emot Pinokio. Aku berusaha meyakinkannya. Tapi emot Pinokio selalu menjadi balasan. Saat dia meminta aku untuk ngirim foto KTP-ku, aku jawab hilang. Lagi-lagi 5 emot Pinokio kembali muncul.

“Sudah gua duga lu tua,” katanya sambil menutup tawanya dengan tangan.

Aku hanya tersenyum dan pura-pura menikmati ejekannya. Sejujurnya, aku malu bukan karena ia tahu tahun lahirku yang sebenarnya. Sekalipun aku menunjukkan KTP yang sudah bertulis kelahiran 2001, ia pasti tidak percaya. Aku tidak ada masalah dengan tahun lahir. Yang membuat aku tak habis pikir, adalah bisa-bisanya mulutku ini dengan spontan mengucapkan tahun lahir, secara tiba-tiba. Jawaban yang sangat tidak masuk akal, jauh sekali pertanyaannya.

Pertanyaannya tidak seperti, tebakan yang biasa kita dengar, 17 ayam ditambah 5 harimau sama dengan berapa? Yang ketika dijawab berapa pun tidak pernah salah, Lantaran bisa dipertahankan dengan logika. Beruntung ia tak menanyakan itu. Beruntung ia asik dengan ketawa dan ejekannya. Aku bisa merekam bahagianya. Ia sepertinya puas mengejekku dan aku puas memandangnya. Pertukaran yang masih adil. Walaupun harus ditegur kursi sebelah, lantaran tidak aku hiraukan saat meminta menu makanan yang aku pegang.

Wanita di depanku ini namanya Rima. Mahasiswi fakultas bahasa Arab di perguruan tinggi kota sebelah. Sebelahnya kota sebelah, sebelahnya lagi, sebelahnya lagi: bersebelahannya kota kami memang lumayan jauh. Aku mengenalnya 3 tahun lalu. Saat itu kami sama-sama mewakili kampus dalam suatu kegiatan di Pulau Borneo.

***

Pada bagian ini saya tidak benar-benar ingin menuliskan cerpen. Dari awal sudah tidak mempunyai kerangka karangan, sesuatu yang dianggap wajib oleh para cerpenis, sebagai pedoman dan alur dari kisah yang ingin ditulis. Simpelnya, kerangka karangan berfungsi, agar para penulis tidak terjebak pada alur. Tidak tersendat, lalu memutar otak agar bisa melanjutkan cerita.

Setidaknya, seperti yang saya rasakan pada saat ingin melengkapi cerpen di atas. Saya lama memikirkan lanjutan cerita. Sebab, dua orang lawan jenis yang bertemu di suatu tempat, malah memuculkan imajinasi di otak untuk menulis kisah percintaan. Kisah yang sepertinya akan panjang, dan lama selesainya. Lalu saya memilih bermuara pada lanjutan yang seperti ini.

Saya memang tidak mempunyai kerangka karangan, karena yang tulisan di atas hanya sebagai upaya saya dalam menjawab tantangan AS Laksana dalam bukunya, Kreatif menulis Cerpen, pada bab Show don’t tell. Ia menyarankan, tulisan yang hanya sekedar bercerita akan membuat membaca jemu. Lalu, berujung pada rasa enggan untuk menghabiskan bacaannya.

Untuk menghindari itu, penulis cerpen pemula disarankan untuk menunjukkan atau menggambarkan cerita. Seakan kejadian dalam cerita tersebut sangat dekat dengan pembaca. Puncaknya, membuat pembaca merasa seperti tokoh cerita itu, sehingga bisa merasakan segala ekspresi tokoh. Cerpen yang demikian memang susah. Karena itu, perlu latihan dan konsisten yang tinggi. Jika boleh meminjam bahasa aktipis, “Setialah pada proses, segala hal bisa dipelajari”.

Anak magang yang suka melihat kehidupan yang sederhana, katanya, "semua perlu dirayakan!"


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *