Festival Permainan Tradisional: Menghidupkan Kembali Ingatan

Di tengah gempuran permainan digital dan gadget yang kian mendominasi kegiatan anak-anak hingga remaja, sekelompok pegiat sosial dan budaya di Pamekasan berinisiatif menghidupkan kembali permainan tradisional Madura melalui festival bertajuk “Hom Pimpha, Yuk Main di Tanean”.
Festival Permainan Tradisional 2025 yang digelar pada 22-23 Februari 2025 di Manifesco Kafe, Pamekasan, merupakan kolaborasi apik antara Tanean Mosaic EO, Compok Literasi, Sivitas Khoteka, dan The Notes. Acara ini mengusung misi pelestarian budaya dengan menghadirkan berbagai macam permainan tradisional yang kini mulai jarang dimainkan.
“Hari ini kita berkumpul untuk merayakan kekayaan warisan kita, menghidupkan kembali semangat masa kecil, dan merasakan kehangatan kebersamaan. Bersiaplah terhanyut dalam gelombang kegembiraan untuk melompat, berlari, dan tertawa lepas dalam Festival Permainan Tradisional 2025,” ujar Achmad Maghfur, Ketua Panitia, dalam sambutannya.

Festival ini menghadirkan 16 permainan tradisional yang dibagi dalam empat kategori. Permainan santai seperti Kudes (Dam-Daman), Tok Seltoan, Buteng, Dakon, hingga Dhi’-Dhindhi’ yang mengingatkan pengunjung pada kegembiraan masa kecil. Sementara kategori ketangkasan fisik menghadirkan permainan Lompat Tali, Panah Karet, dan Main Kelereng yang menguji kecepatan dan koordinasi tubuh.
Untuk kategori kompetisi tradisional, pengunjung bisa menyaksikan atau bahkan berpartisipasi dalam lomba Gobak Sodor, Kleles (Rab Keraban), dan Egrang. Tak ketinggalan, permainan interaksi sosial seperti Engklek (Ghisèk), Petak Umpet (Terjang), Le-Alle Bengko, dan Kejar-Kejaran (Tung Sapitung) juga menyemarakkan festival selama dua hari penuh.
Menariknya, Kleles atau Rab Keraban dipilih sebagai maskot utama festival tahun ini, menggarisbawahi pentingnya melestarikan permainan tradisional asli Madura tersebut.
Hal menarik lainnya dalam festival ini menghadirkan Mustofa Syam atau yang biasa di panggil Cak Mus, selaku pendiri Kampoeng Dolanan asal Surabaya, hadir sebagai pemateri dalam talkshow interaktif pada hari pertama festival yang membahas terkait pelestarian permainan tradisional.
“Permainan tradisional bukan sekedar tentang bermain, tapi juga memiliki berhubungan dengan pembentukan karakter. Dan ini selalu berkait dengan tiga perkara: hubungan diri dengan diri, diri dengan sesama, dan diri dengan Tuhan,” jelas Cak Mus. Ia juga mengungkapkan bahwa ungkapan seperti ‘Hom Pimpha Alaium Gambreng’ memiliki arti mendalam, yaitu “dari Tuhan kembali ke Tuhan, ayo bermain” – sebuah penanda bahwa permainan tradisional tidak hanya sekadar hiburan tetapi juga mengandung nilai-nilai spiritual.

Festival ini tidak hanya sekadar menghadirkan permainan tradisional, tetapi juga mengemas ulang dalam bentuk yang menarik. Selain berbagai lomba dan kegiatan seperti screening film dan hunting fotografi, panitia juga menghadirkan Foodcourt Makanan Tradisional dengan konsep unik yang disebut “Wal Juwalan”.
Denga menggunakan ‘bilah pering’ sebagai alat tukar untuk transaksi di foodcourt. Bilah pering, rautan bambu berbentuk pipih dengan panjang seukuran sendok, menjadi alat transaksi yang menggantikan mata uang rupiah. Bilah bernomor 1, 2, dan 5 mewakili nilai Rp1.000, Rp2.000, dan Rp5.000.
Festival yang terbuka untuk umum dan gratis ini dirancang untuk menjembatani kesenjangan generasi. “Kami ingin anak-anak, remaja, dan orang tua bisa bermain bersama, bernostalgia, dan belajar nilai-nilai kebersamaan dalam permainan tradisional yang kini mulai hilang,” jelas Arinal, yang merupakan inisiator Compok Literasi.
“Festival ini bukan sekadar acara hiburan, tetapi sebuah upaya untuk menghubungkan kembali ingatan kolektif kita dengan berbagai permainan tradisional, yang barangkali telah samar dalam ingatan kita, serta upaya untuk mengenalkan permainan-permainan itu kepada generasi masa kini,” pungkasnya.