Bertukar Lepas dengan Kemungkinan

Mungkin Anda hafal dan tahu betul, mulai dari panjang dan lebarnya sebuah tempat parkir di sebuah pusat perbelanjaan atau tempat kerja Anda. Bahkan mungkin Anda tahu di mana posisi terbaik untuk memarkir sepeda atau mobil Anda. Kemudian, dari rumah sudah berencana untuk menempatkan kendaraan Anda di posisi tersebut. Namun, sayangnya, setelah sampai di parkiran tersebut, posisi itu sudah ditempati orang lain. Lalu, esoknya Anda berpikiran sama, dan beruntunglah nasib Anda sesuai dengan pikiran Anda. Barangkali kondisi itu tepat untuk menggambarkan cara kerja kuasa kehendak bebas (free will) dan takdir dalam semesta kemungkinan kita.
Lalu, pada sebuah kondisi. Bagaimana jika kita berusaha untuk tidak melakukan intervensi apa pun pada apa yang akan terjadi pada kemungkinan? Kita mencoba tak memikirkan dan merencanakan apa pun. Kira-kira bagaimana hasilnya? Itulah yang kami lakukan dalam kegiatan Touring & Campoel-Campoel Compok Literasi kemarin. Kami menyebutnya sebagai upaya bertukar lepas dengan kemungkinan.
Tapi tak sepenuhnya tanpa rencana! Rencana sederhana kami lempar ke grup obrolan virtual, bahwa kita akan melakukan sesuatu dari A ke J. Namun, jujur, itu hanyalah sebuah alibi pelapis untuk menutupi niat utama kami di atas. Sebab, kami bergerak secara komunal, kami sebagai penyelenggara kegiatan ini sadar atas kebutuhan kepastian pada individu atau dalam sebuah kelompok untuk menjalankan suatu aktivitas. Maka kami memenuhi hal tersebut dengan susunan kegiatan sederhana, terkait jam berapa kita berangkat, jam berapa kita sampai, dan akan melakukan apa saat sudah di lokasi. Akan tetapi, sekali lagi, jujur, kami sendiri tak berharap banyak pada rencana itu.
Maka terjadilah! Awan gelap menutupi langit kota Pamekasan hari itu. Satu per satu peserta mengabari bahwa di tempat mereka turun hujan deras. Beberapa peserta tampak ragu, sementara yang lain menunggu kepastian, khawatir di lokasi kegiatan nanti akan terjadi kondisi cuaca yang sama. Namun, kami tetap menegaskan, “Kita tetap berangkat. Siapkan jas hujan masing-masing sesuai dengan rencana semalam,” tulis kami dalam grup virtual tersebut.
Tentu lewat dari jam yang seharusnya kami jadwalkan. Satu per satu mulai berdatangan di titik kumpul yang disepakati. Mereka menerjang hujan deras, bahkan ada yang mengabari bahwa terjadi macet sebab ada pohon tumbang, dan mereka harus mencari jalan alternatif lain. Basah, tentu! Namun, kami tak mengurungkan niat sama sekali.
Untungnya, saat kami berangkat, hujan tinggal gerimisnya. Estimasi perjalanan ini membutuhkan waktu sekitar dua jam perjalanan. Kami melalui sore dan rintiknya sepanjang jalan menuju lokasi, tembus hingga hari gelap. Barulah kami sampai di lokasi yang telah kami tentukan, di sebuah bukit yang lapang dan gelap gulita pada ketinggian sekitar 500 meter di atas permukaan laut. Kami mendirikan tenda, menggelar bekal yang kami bawa, dan menyantapnya bersama untuk mengisi energi setelah perjalanan yang cukup panjang.
Lalu, setelahnya membuat perapian kecil untuk menghangatkan diri. Sebab malam itu nampaknya masih gerimis, namun baru sadar kemudian bahwa itu kabut pekat yang kadang hilang dan kembali. Kami melingkar di pusaran api itu, berbincang sembari membakar ikan yang kami bawa. Lalu tiba-tiba ada yang nyeletuk, “Lalu kita setelah ini ngapain? Tidak ada diskusi-diskusi apa gitu?” Bertanya dengan nada seperti menuntut kegiatan selanjutnya: seperti yang kami informasikan sebelumnya.
Kemudian kami menjawab, “Sudah, kita nikmati dulu ikan yang kita bakar ini! Kita nikmati apa yang di depan kita ini.” Setelahnya obrolan menjadi cair, seketika membicarakan Compok Literasi di 2025, lalu obrolan lain. Kadang tawa menyeruak, tanya muncul, dan perbincangan mengalir mengikuti timbul-hilangnya kabut malam itu. Lalu kami berhasil mengabadikan momen ini setelahnya.




Kami jadi ingat pada Rollo Reece May, seorang tokoh psikologi eksistensial yang karyanya selalu menekankan hubungan antara keberadaan manusia, kecemasan, dan makna hidup. Di mana pada tahun 1960-an, ia memprediksi bahwa manusia saat itu akan sangat mudah menemukan kepastian tentang dunia eksternal, lebih-lebih diakselerasi oleh teknologi. Lalu, manusia saat itu akan mudah mengalami kegelisahan yang luar biasa. Sebab, oleh kepastian itu, manusia mulai kehilangan misteri dan tanda tanya pada alam semesta serta mulai tak sanggup mendengarkan suara dalam dirinya. Barangkali prediksi itu adalah masa kini. Kita saat ini sering cemas jika tak ada kepastian atas satu hal, dan mulai gelisah jika kepastian itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Namun malam itu, peserta kegiatan ini nampaknya sudah mulai lupa, bahkan barangkali mulai tak peduli pada kepastian rencana yang kami informasikan sebelumnya. Ia lebur, mengalir mengikuti jalannya waktu, dan mereka mulai menikmati malam yang begitu romantis dan syahdu. Pun kami seperti mulai berserah pada suasana gelap gulita itu, di tempat yang mereka benar-benar tak mengetahui seperti apa pemandangannya esok harinya. Kesadaran akan kebutuhan kepastian yang Abraham Maslow jelaskan dalam hierarki Kebutuhan Maslow itu, nampak dapat kami istirahatkan malam itu, semacam kami lepaskan pada kemungkinan untuk bekerja.
Hingga esok pagi tiba, nuansa itu masih terasa. Masing-masing dari kami makin mampu menikmati suasana. Padahal pagi itu gerimis datang, bayangan kami akan adanya matahari terbit pun pupus sebab kabut masih begitu pekat menyambut, menghalangi jarak pandang kami. Namun, kami masih bisa menikmati suasana pagi yang apa adanya itu.

Lalu setelahnya, kami melihat seorang peserta yang mulai menemukan maknanya dari kegiatan ini. Melalui story Instagram-nya, kurang lebih ia menuliskan seperti ini:
“Ternyata prinsip ‘Believe in Process’ itu nyata adanya. Di mana di sini saya dihadapkan dengan momen yang di luar rencana, yang awalnya kami memiliki susunan acara/kegiatan yang akan dilakukan ketika sampai di titik lokasi, namun sirna yang disebabkan oleh banyak faktor dan peristiwa pada saat perjalanan. Tapi, di situlah masing-masing dari kami memperlihatkan perjuangan untuk sampai ke tempat tersebut dengan proses yang cukup sulit. Dan hal itu yang membuat banyak sekali aktivitas terjadi yang justru menjadi bumbu kegiatan ini.”
Begitu tulisnya dengan sadar.
Bahwa benar, dalam suatu hal, kita harus penuh rencana dan kepastian agar hal tersebut bisa berjalan dengan baik dan sesuai harapan. Namun, dalam urusan menikmati, ia tak terlalu butuh rencana. Sebab yang perlu disadari, barangkali kita telah merencanakan apa pun, namun tetap Tuhan yang memutuskan. Pun saat kita coba memutuskan, tapi Tuhan punya rencana lain. Maka, saat kita berusaha menikmati sesuatu atas apa pun yang terjadi, sebenarnya bukan tentang di mana dan bagaimana kejadian itu terjadi, namun ini tentang bagaimana penerimaan kita untuk bisa menikmati apa pun yang kita hadapi.
| Ditulis oleh : Ari Ghi, Relawan Penggerak Compok Literasi
Di mana nih min tempatnya?
Di daerah sumenep kak. Bukit Linjari.