Tentang Kehilangan, Tawa dan Segala Duka

Tentang Kehilangan, Tawa dan Segala Duka

“Kamu newbie dalam dunia kehilangan sosok ayah,” seorang kawan menanggapi teman kami yang baru saja kehilangan ayahnya karena meninggal. Ia melanjutkan, “Ada yang lebih senior, berapa dah kamu, Mas?” Tiba-tiba ia melemparkan saya pertanyaan yang tidak terduga. Ia melontarkan kalimat itu, seolah kehilangan adalah sesuatu yang bisa diukur dan diberi peringkat.

“2013, Mas. Bapak saya meninggal tahun 2013,” jawab saya pendek, mencoba menyesuaikan dengan arah percakapan yang mulai terasa ganjil.

Ia mengangguk. Lalu kawan lain menimpali. “Loh, 2013? Masih kalah kamu. Bapak saya 2001. Sejak saya umur 6 bulan.”

“Halah,” suara lain menyela, kali ini dari sudut ruangan. “Bapak saya kayak rokok eceran, yang lupa saya taruh.”

Kami tertegun. Ada yang berusaha menahan tawa, ada yang bingung harus merespon bagaimana. Kata-kata itu terasa terlalu absurd untuk situasi seperti ini. Ia mengulanginya dengan ekspresi setengah tertawa, seolah ingin memastikan semua orang mengerti maksudnya. “Bapak saya masih hidup, tapi nggak tahu di mana. Kayak beli rokok eceran yang lupa saya taruh.”

Percakapan itu, di tengah suasana duka, menyisakan keheningan yang aneh. Seolah kehilangan tidak lagi sekadar rasa pilu, melainkan teka-teki tanpa jawaban. Kami tahu, di balik candanya, ada luka yang tidak pernah sembuh sepenuhnya. Dan di situ, untuk pertama kalinya, saya mulai meyakini bahwa perasaan kehilangan tidak pernah memiliki bentuk pasti. Kadang ia adalah kematian, kadang ia adalah kepergian, dan kadang ia adalah bayang-bayang seseorang yang tidak pernah benar-benar ada. Semuanya, telah menjadi ingatan akan masa yang telah berlalu.

Kehilangan bagaikan rasa sunyi yang tinggal tanpa diundang. Ia tidak mengetuk pintu, tidak pula memberi tanda. Ia hanya datang, menghantam tanpa belas kasih, dan meninggalkan ruang kosong yang tak pernah benar-benar bisa diisi. Kehilangan tidak berbentuk; ia hadir seperti bayang-bayang di sudut mata, samar, tetapi nyata, menggantung di udara seperti kabut dan enggan tertiup angin.

Ada sesuatu yang ganjil dalam cara kehilangan bekerja. Ia tidak hanya merenggut, tetapi juga mengukir, meninggalkan bekas yang tidak terlihat, tetapi terasa dalam setiap tarikan napas, setiap jeda di tengah tawa, setiap malam yang dilalui tanpa tidur. Kehilangan tidak pernah memilih waktu, datang kapan saja, bahkan ketika kita tidak siap. Dan sejatinya, kita tidak pernah benar-benar siap.

Kawan saya tertawa saat mengibaratkan sosok ayahnya yang seperti rokok eceran, tetapi ada sesuatu dalam tawanya yang terasa rapuh, seperti kaca yang hampir retak. Ia menertawakan nasib, mungkin karena ekspresi paling sedih pun tidak lagi cukup. Tetapi di balik itu, ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Bukan hanya kehilangan seorang ayah, tetapi kehilangan kemungkinan-kemungkinan untuk mengenal, untuk mencintai, untuk merasa utuh, sebagaimana dalam keluarga lain.

Kehilangan selalu meninggalkan pertanyaan yang tidak memiliki jawaban. Mengapa? Mengapa mereka harus pergi? Mengapa rasa kehilangan masih terasa begitu dalam, bahkan bertahun-tahun setelahnya? Jawabannya selalu sama, karena mereka berharga, dan seharusnya sangat berharga. Kehilangan hanya menyakitkan karena ada cinta di dalamnya. Sebesar apa pun luka yang ditinggalkan, itu adalah tanda bahwa ada sesuatu yang pernah diharapkan begitu berarti hingga kepergiannya menciptakan kehampaan dan ruang-ruang kosong.

Dan, buruknya, kehilangan itu sangat kejam. Ia seringkali membuat kita terlena dan lupa terhadap apa yang masih kita miliki, dan siapa yang masih ada di sisi. Hingga akhirnya, kehilangan datang menjemput mereka, mengembalikan kita ke ruang sunyi, sendiri.

Anak magang yang suka melihat kehidupan yang sederhana, katanya, "semua perlu dirayakan!"


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *