Sebuah Puisi dari Mimpi : Kalamakara

Saya hanya seseorang yang menyukai puisi. Jika ditanya apakah saya memiliki latar belakang pendidikan bahasa atau sastra? jawabannya tidak. Atau latar belakang lainnya yang berhubungan dengan itu, jawabannya juga tidak. Sekali lagi, saya hanya seseorang yang menyukai puisi.
Terkadang iseng bikin sebuah puisi, yang barangkali itu bisa disebut bukan puisi. Sebab ia tak memiliki bahasa yang berbunga-bunga, tak terlalu metafor-maksudnya begini ditulisnya begitu. Namun jika mengamini pendapat H.B. Jassin bahwa puisi adalah karya sastra yang diucapkan dengan perasaan dan memiliki gagasan atau pikiran. Barangkali beberapa karya yang saya buat, bisa dengan bangga saya klaim sebagai puisi.
Kadang karya itu muncul atas respon sosial yang saya amati, kadang muncul dari rasa yang tiba-tiba memenuhi dada, atau dari letupan pikiran yang tiba-tiba melintas dalam benak. Namun berbeda dengan puisi satu ini, yang saya beri judul “Kalamakara”.
Ia hadir dalam mimpi. Setelah bangun, satu kalimat yang paling saya ingat, “Mari kita kembalikan ia kepada penciptanya” yang kemudian itu menjadi salah satu bait yang muncul dalam puisi ini. Kemudian bait-bait lainnya muncul secara mengalir. Bahkan judulnya baru ditemukan kemudian setelah keseluruhan baitnya purna menjadi puisi.
Pemilihan judul Kalamakara sendiri sebenarnya merujuk pada nama mahluk Mitologi Jawa dari Majapahit. Perwujudannya muncul dalam beberapa patung dan perhiasan artefak Majapahit. Umumnya, hanya berbentuk kepala tanpa tubuh.

Secara historis, dalam mitologi Hindu, Kala Makara awalnya adalah seorang dewa yang rupawan. Namun, akibat suatu kesalahan dalam hidupnya, ia dikutuk oleh Sang Hyang Widi menjadi sosok raksasa yang buas, dengan rupa buruk nan mengerikan.
Wajahnya yang menakutkan mencerminkan sifat buasnya. Konon setiap makhluk atau hewan yang ia temui pasti akan menjadi mangsa yang tidak terelakkan. Dalam kisahnya, setelah semua mahluk ia dilahapnya, ia pun menghabiskan tubuhnya sendiri hingga hanya tersisa kepalanya. Inilah sebabnya, dalam mitologi Jawa, Kala Makara digambarkan hanya sebagai sebuah kepala.
Saya sendiri heran, kenapa kisah Raksasa Kalamakara ini nampak berkaitan dengan bait-bait puisi dari mimpi itu. Saya merasa begitu, entah menurut anda. Silahkan amati sendiri puisi berikut :
Kalamakara
Sebelumnya,
kabar menguar.
Negeri Loh Jinawi itu
porak-poranda.
Apa yang tak dijual?
Apa tak bisa dibeli?
Semua masuk mulut,
demi perut.
Dibabat,
hutan alih lahan.
Laut dipagari,
nelayan nelangsa,
sulit mencari.
Murka lah datang.
Gunung meletus,
bandang menerjang,
api dan angin berhembus.
Matra gonjang-ganjing.
Dari puncak bukit cemeti,
bangkitlah seorang diri.
Sosok besar, suara menggelegar.
“Aku muak,
aku diamanahi Tuhan!
Tapi gagal.”
“Siapa yang mengalahkan
keserakahanku?”
teriaknya lagi.
Bangun dari rebah,
matanya melotot,
menyibak sekitar.
Gejolak rasanya, gusar!
Semua telah porak-poranda,
bahkan sebelum ia tiba.
Ia kembali penuh tanya.
Berapa gunung yang telah rata?
Berapa tanah disulap jadi timah?
Lubang menganga,
habiskan nyawa.
"Sebelumnya tak begini.
Aku diamanahi Tuhan!
Tapi aku gagal.”
Ia berdiri,
badannya menutupi
setengah bumi.
“Siapa yang telah
lebih serakah dariku?”
Bau anyir
menyelimuti jagad.
Seantero tunggang-langgang.
Ia lahap,
injak, dan kejar.
“Para perusak!”
tukasnya.
Ia kejar,
sekitar 176 orang
digenggamnya.
Sembari melontar kata:
"Mari kita kembalikan
mereka pada Penciptanya.
Allahumma
baarik lanaa
fiimaa rozaqtanaa
wa qinaa
'adzaa bannar."
Setelah sekian ratus,
sekian ribu, sekian kali,
ia menggapai.
Ia kunyah,
ia lumat
seisi negeri.
Hingga,
ia gapai
orang terakhir,
yang paling papa
di antara lainnya.
“Agar kau tak menderita lagi,
mari aku kembalikan kau
pada Sang Hyang Siji.”
Allahumma
baarik lanaa
fiimaa rozaqtanaa
wa qinaa
'adzaa bannar.
Siapa yang salah?
Jika ada kesempatan, saya ingin membacakannya dengan lantang. Entah kapan waktu itu datang, saya ingin.
| Ditulis oleh Ari Ghi, Relawan Penggerak Compok Literasi