Jejak Bunga Tabur Sepanjang Jalan Ronggosukowati

Jejak Bunga Tabur Sepanjang Jalan Ronggosukowati

Matahari memancar sekadarnya, langit pudar dan kelabu. Aroma petrikor menguar, senyawa geosmin yang dilepaskan tanah melebur dengan udara sore itu—nuansa khas pascahujan. Meski gerimis masih tersisa, namun tak mengurungkan niat saya untuk tetap berangkat.

Sore itu adalah waktu yang kami sepakati untuk melanjutkan kegiatan belajar menulis bersama kawan-kawan Compok Literasi. Kali ini adalah sesi observasi, tujuannya adalah mencari hal menarik sebagai bahan tulisan kami.

Perjalanan Bangkes–Pamekasan saya tempuh dengan tergesa-gesa. Dari waktu yang disepakati, saya pikir sudah terlambat 30 menit untuk sampai di titik kumpul. Namun, sesampainya di sana, nihil. Tak ada seorang pun. Mungkin karena hujan, atau memang kami masih konsisten untuk tidak berkomitmen pada waktu.

Hampir satu jam saya menunggu, baru dua orang yang datang. Tak berselang lama dari itu seorang rekan yang merupakan pemandu kegiatan ini berujar “Ayo kita mulai saja. Takut keburu Magrib,” tukasnya. Kami sepakat, dan segera berangkat meski hanya segelintir peserta.

Sesampainya di lokasi, kami melakukan briefing sejenak kemudian diberi waktu untuk mengeksplorasi area pasar maupun komplek makam guna mencari ide tulisan. Tak ingin menyia-nyiakan waktu lagi. Saya langsung menghampiri penjual bunga yang tersisa tiga orang. Ingin mengajak mereka berbincang, dan menanyakan beberapa hal. Barangkali ada hal menarik yang bisa saya temukan.

Pertemuan

Di ujung deretan itu, langkah saya terhenti pada seorang perempuan paruh baya yang duduk di pinggir trotoar. Ia menata plastik-plastik berisi bunga tabur dengan perlahan. Tatapannya tampak lelah, tapi senyumnya ramah saat saya menyapa. Saya minta izin untuk duduk. Ia mempersilakan di sebelahnya, dan obrolan kami dimulai dengan basa-basi sederhana.

Namanya Maiyah, katanya. Ia berasal dari daerah Nyalabu, Pamekasan. Guratan diwajahnya menyiratkan perjalanan waktu yang panjang, mungkin lebih panjang dari pada kemampauannya mengingat. Terbukti ketika meberitahu saya terkait usia, ia hanya mengira-ngira, “sepertinya saya lahir sekitar tahun 70-an atau 80-an, Mas,” ucapnya sambil tersenyum tipis, ”entah saya sudah lupa!” lanjutnya.

Ia mulai berjualan bunga tabur sejak pasar Kolpajung dipindahkan ke lapangan Kowel pada tahun 2023. Sebelumnya, ia hanya berjualan lontong di pagi hari untuk menyambung hidup. “Kalau sore, saya merasa kosong, Mas. Tidak ada aktivitas, tidak ada tambahan penghasilan,” katanya. Maka, sore-sore ia mulai berdagang bunga tabur. Di nampannya nampak  bunga-bunga yang saya kenal; melati malam, kenanga, sweet pea, kamboja dan beberapa jenis lainnya.

Bunga-bunga itu tetiba memantik lamunan. Saya berusaha menerka ingatan, kapan tepatnya budaya tabur bunga di atas pusara ini dimulai. Seingatan saya, praktik meletakkan sesuatu di atas pusara pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W. Sayangnya bukan bunga yang beliau letakkan, namun dahan pohon kurma. Yang konon praktik itu bisa meringankan siksa ahli kubur sepanjang dahan hidup itu tak mengering.

Lalu ingatan lain berkelindan, waktu itu saya pernah membaca kabar dari sebuah media online. Telah ditemukan sebuah kerangka berusia 70.000 tahun yang diberi nama Shindar Z, berupa kerangka Neanderthal yang ditemukan di Gua Shindar di area pegunungan Irak, 804,6 kilometer utara Baghdad.

Disana, juga ditemukan serbuk sari yang dianggap sebagai bukti bahwa Neanderthal tidak hanya menguburkan orang mati, tetapi juga melakukan praktik tabur bunga di atas makam. Meski hal ini memantik perdebatan diantara para ahli, namun hal ini diyakini bahwa praktik tabur bunga ini telah ada sejak 70.000 tahun lalu.

Bunga Tabur di Berbagai Tradisi

Selain itu, tabur bunga ini memiliki akar yang cukup filosofis dan telah berjalan di berbagai peradaban manusia. Praktik ini sebenarnya tidak bisa dikaitkan hanya dengan satu individu atau kelompok, semisal pada kisah Nabi Muhammad S.A.W yang saya sampaikan di awal. Tetapi saya yakin, praktik ini juga menjadi bagian dari tradisi yang beragam.

Budaya tabur bunga memiliki makna spiritual terutama dalam tradisi umat beragama. Dalam agama Hindu, bunga dianggap suci dan sering dipersembahkan kepada arwah sebagai bentuk penghormatan dan doa. Lalu dalam tradisi Kristen, menaburkan bunga di kuburan melambangkan kasih sayang, kebangkitan, dan kehidupan abadi.

Bagi Bangsa Yunani dan Romawi, bunga disimbolkan sebagai keindahan dan kesucian, sehingga menjadi hal lumrah dalam prosesi pemakaman. Pada peradaban Mesir Kuno, bunga digunakan dalam ritus pemakaman sebagai lambang kehidupan setelah kematian dan penghormatan kepada orang yang telah meninggal.

Entah kapan itu dimulai, yang jelas berbagai latar budaya tabur bunga yang telah berlangsung selama ini, hingga melahirkan orang-orang seperti Bu Maiyah dan para tengkulak yang menjadi tempat Bu Maiyah mengulak Bunga. Mereka sama-sama menyambung hidupnya dengan berjualan bunga. Bu Maiyah mendapatkan bunganya dari seorang tengkulak di daerah Kowel. ”Satu kantong plastik ini saya belinya lima puluh ribu mas,” sembari mengangkat kantong plastik merah besar. ”Itupun kalau habis sehari mas, ini saja yang kemarin masih sisa segini” sembari mengangkat kantong lainnya.

Walau hasilnya tak seberapa, mungkin hanya cukup mengatasi lapar hari itu. Ia menjualnya dengan harga murah, hanya dua ribu lima ratus per bungkus, bahka ia bersedia memberi potongan harga bagi pembeli yang mengambil lima bungkus sekaligus, cukup membayar sepuluh ribu. “Itupun saya potong lima ratus rupiah perbungkus,” ujarnya sembari melempar senyum.

Di hari biasa, pendapatannya hanya berkisar lima belas ribu, bisa hingga lima puluh ribu atau lebih pada hari besar, seperti lebaran atau hari khusus lainnya. Semisal kemarin, saat masa pencalonan bupati, rezekinya berlipat ganda. Ia bercerita tentang bagaimana para simpatisan ramai mendatangi makam Ronggosukowati, dan bunganya laku keras. Ketika stok habis, ia bisa mendapatkan keuntungan lebih besar.

Nampaknya bagi penjual bunga seperti Bu Maiyah, hari besar memang menjadi waktu yang sangat ditunggu-tunggu. Saya jadi ingat, misalnya, pada perayaan Día de los Muertos di Meksiko, yang merupakan perayaan untuk orang-orang terkasih yang sudah meninggal, bunga-bunga marigold digunakan pada instalasi altar ofrenda dan nisan-nisan kuburan oleh orang seluruh kota. Hal ini membuat bisnis bunga marigold melambung pesat di musim itu.

Sependek ingatan saya di Indonesia sendiri, hari-hari ramai di kuburan biasanya terjadi pada hari jum’at, sehari menjelang bulan puasa, serta pada hari raya. Dan pada momen inilah kata Bu Maiyah biasanya akan lebih banyak penjual bunga, bahkan membuat ia harus kulakan lebih banyak dari hari biasanya.

Bunga-bunga dan Tanda Cinta

Hal menarik lainnya, saya amati dari beberapa pembeli. Ketika hendak membeli, mereka tidak hanya membeli dari satu penjual. Setelah membeli dari satu penjual, mereka juga mengambil beberapa bungkus dari penjual lainnya. Nampak niat baik mereka yang ingin dibagi ke beberapa penjual lainnya. Sehingga meski para penjual ini berderet berdekatan, saya melihat suasana yang rukun dan guyub diantara para penjual ini.

Sebanarnya saya ingin mengajak berbincang dua penjual lainnya, namun mereka terlihat mulai merapikan dagangan dan sudah mengemasi plastik-plastik mereka. Sontak saya langsung bertanya,”Kok sudah dirapikan bu?” Sembari tersenyum mereka menjawab,  “Anak saya sudah menjemput, Mas!” lalu setelahnya kedua ibu itu bergegas meninggalkan lokasi.

Sejurus dengan itu, saya juga berpamitan kepada Bu Maiyah untuk menyusul rekan-rekan yang telah masuk dalam komplek pemakaman pangeran Ronggosukowati. Namun tiba-tiba ia menyingkap nampan yang menutup bak hitamnya, dan mengambil sebuah bingkisan berisi bebarapa lontong,” Ini silahkan dibawa mas!” sembari tersenyum ia menyulurkan tangannya. Saya ucapkan terima kasih dan meninggalkan tempat itu dengan penuh fikir.

Dari semua yang saya amati sore itu, antara pertemuan saya dengan Ibu Maiayah mengingatkan tentang banyak hal dan membuat saya sadar,bahwa menabur bunga di atas pusara, lebih dari sekadar ritual penghormatan, barangkali itu merupakan upaya manusia melawan waktu. Cinta yang terus diusahakan untuk hidup, bahkan setelah yang dicintai berlalu. Mungkin, menabur bunga bukan hanya untuk mereka yang tiada, tetapi juga untuk kita sendiri, agar tak lupa mencintai dan mengingat atas apapun yang telah berlalu.

Terlepas dari keyakinan tentang kehidupan setelah kematian, atau apakah roh-roh yang berpulang benar-benar bisa kembali ke rumah? saya membayangkan saat itu terjadi, mereka mengunjungi rumah lalu setelahnya kembali ke pusaranya. Mereka akan melihat tanda cinta dari yang ditinggalkan, berupa taburan bunga atau sekadar daun kamboja di atas pusaranya. Dengan itu, mereka tahu bahwa kasih sayang itu masih ada, sebelum akhirnya mereka kembali beristirahat dengan tenang.

Sumber :

Merdeka.com. (2023, 20 November). Ritual tabur bunga saat pemakaman dimulai sejak 70.000 tahun lalu, ini buktinya. Diakses pada 17 Januari 2025, dari https://www.merdeka.com/dunia/ritual-tabur-bunga-saat-pemakaman-dimulai-sejak-70000-tahun-lalu-ini-buktinya-17280-mvk.html

Sophia Razzaq, “The Language of Flowers in Ancient Times,” Medium, June 6, 2023, https://medium.com/@sophiarazzaqq/the-language-of-flowers-in-ancient-times-bd7baba59dbe.

VECICEK. (n.d.). Fungsi bunga untuk manusia. Diakses pada 17 Januari 2025, dari https://vecicek.com/fungsi-bunga-untuk-manusia/

Romo, Vanessa. (2021, 30 Oktober). Why Marigolds or Cempasuchil Are the Iconic Flower of Día de los Muertos. NPR. Diakses pada 17 Januari 2025, dari https://www.npr.org/2021/10/30/1050726374/why-marigolds-or-cempasuchil-are-the-iconic-flower-of-dia-de-los-muertos


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *