Perihal Esai; Gaya dan Materi

“Esai itu prosa non fiksi. Seni ada pada cara penyajiannya.”
Penulis sastra, Royyan Julian, mengarahkan, saat saya tanya tentang cara menulis esai. Bahwa, banyak membaca esai dapat meningkatkan kemampuan dalam menyajikan ide. Itu, kunci dalam menulis esai, bukan hanya memahami triknya. Sebab, bisa jadi, trik menulis esai bisa membatasi kreativitas penyajiannya.
Royyan merekomendasikan beberapa buku esai untuk saya baca. Termasuk, beberapa karya esainya yang telah dibukukan, seperti Tidak Mencari Madura yang Hilang.
Di lain waktu, saya sering mendiskusikan perihal tulisan bersama seorang sahabat, Mamad (bukan nama asli). Saya mengenalnya sebagai blogger. Saat kami ngopi, hampir tidak pernah satu pertemuan pun, tidak membahas tulisan. Termasuk esai, yang saat ini sedang saya pelajari.
Sobat saya itu selalu menekankan esai terhadap gaya pengemasannya. Setiap membedah karya kami, gaya selalu menjadi poin utama. Sambil merekomendasikan beberapa karya esai yang bisa dibaca untuk dipahami.
Gaya yang dimaksud, merupakan cara menghubungkan ide-ide yang terdapat dalam esai. Termasuk pemilihan bahasa dan diksi. Karenanya hal ini menentukan, mempengaruhi pembaca dalam memahami dan menikmati bacaannya.
“Bagi saya esai yang bagus, ketika menarik saya membacanya berulang-ulang. Tulisannya renyah dan tidak sulit memahaminya,” katanya suatu ketika.
Itu, saya setuju. Banyak karya esai yang materinya sama, namun pengemasannya beda. Sehingga kesan yang disampaikannya pun berbeda. Begitu pula pada niat melanjutkannya. Gaya yang tepat akan membuat pembaca memilin setiap diksi yang dirajut.
Pada esai Mahbub Djunaidi, semisal, gaya yang out of the box menarik saya untuk membaca. Bahkan, beberapa esai Mahbub, saya juga sering mengulanginya. Takjub pada pengemasannya, seperti pada esai berjudul “Bisnis Kuburan” dan “Sejak kapan Rakyat Kecil Bikin Rumah Harus Pakai Arsitek?”
Pun demikian pada esai AS Laksana. “Sapardi, Pagi Tadi…” cukup membuat geleng-geleng lantaran renyah. Setidaknya, tidak membuat saya harus mengerutkan dahi, untuk memahaminya. Padahal materinya tidak begitu sederhana. Tapi, tulisan itu tampak berbicara bagai Ibu ke anaknya.
Untuk mengukur kualitas tulisan, perlu memperhatikan dua hal utama; materi, kemudian gaya atau pengemasan. Termasuk esai. Namun, terlalu mengeksploitasi teknik penyampaian adalah hal utama esai, hingga mengabaikan peran materi juga tidak bisa dibenarkan.
“Dalam karya esai itu gaya lebih utama ketimbang materi. Jika dipresentasikan, bisa 80% banding 20%,” jelasnya, sambil menuliskan poin penyampaiannya di kertas, yang sedari tadi menjadi oretan pembahasan kami.
Dalam penulisan esai, memang gaya menentukan. Tapi memosisikan gaya sebagai 80% untuk mengukur kualitas esai, saya kurang setuju. Bagi saya materi tidak bisa disepelekan begitu saja. Penulisan esai yang baik memang menghibur, tapi mengabaikan informasi pentingnya juga tidak berimpak apa pun.
Justru, saya berpikir bahwa materi jauh lebih penting dari sekadar gaya. Materi adalah ide-ide yang dikumpulkan, lalu dikaji dari sudut pandang tertentu. Hal itu tidak bisa disepelekan, sebab menentukan arah dan pesan pada esai kita. Karenanya, ketajaman penulis jauh lebih diutamakan dari sekedar menghibur.
Saya sering menemukan di berbagai genre tulisan, bahwa para penulis sudah mumpuni dalam hal gaya. Namun, tidak diimbangi dengan ketajaman ide dan kelihaian dalam memilih sudut pandang, hal itu juga tidak banyak memberikan arti. Pembaca hanya sekedar terhibur.
Saya justru lebih setuju jika mengibaratkan esai-hampir-sama dengan feature. Gaya penulisan keduanya sangat menentukan. Begitu pula pada idenya. “Feature memang tujuannya agar tulisan menghibur, namun bukan berarti melupakan pentingnya informasi yang ingin disampaikan,” setidaknya, itu kata Gunawan Muhammad dalam Seandainya Saya Wartawan Tempo.
Justru, menurut Penulis Caping itu, menulis dengan gaya feature-boleh esai, jika setuju-untuk membuat ‘informasi yang penting’ itu enak dibaca. Jadi, bukan hanya sekedar menghibur. Jika boleh saya ikut mempresentasekan, bahwa materi dan gaya penulisan esai harus seimbang; 50:50. Mungkin penetapan presentase ini terkesan subjektif, namun setidaknya kita mesti sepakat bahwa ketajaman materi tidak bisa diabaikan begitu saja.
Esai AS Laksana, semisal, gaya penuturannya yang sangat sederhana. Tapi, tidak dengan materinya. Demikian pula Esai Mahbub, ‘lelucon’ menjadi gaya khas jurnalis kelahiran ibu kota ini, dalam menyampaikan ide-ide ‘seriusnya’.
Bagi saya, proses untuk mendapatkan ketajaman materi ini tidak bisa disepelekan. Sebab, butuh dilatih dengan analisis, dan teknik khusus-yang mungkin setiap orang berbeda. Hal ini berbanding terbalik dengan gaya esai, yang bisa didapat dengan cara sering membaca esai itu sendiri. Sebagaimana yang direkomendasikan Royyan Julian.
Tak ada tuntutan dalam gaya penulisan esai. Setiap gaya akan menemukan segmen tersendiri. Berbeda dengan ide, yang selalu dituntut segar dan bernas.
| Ditulis oleh Baitur Rahman